REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majunya mantan narapidana kasus korupsi dalam gelaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan kesalahan partai politik pengusung karena mengusung sosok yang nyatanya pernah melakukan kesalahan di masa lalu.
Pengamat hukum dari Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin natosmal Oemar menilai kesalahan ini lantaran parpol telah kehilangan moral dalam berpolitik. Secara etika, keikutsertaan mantan narapidana korupsi tidaklah sepatutnya terjadi.
"Menurut saya, yang patut dipersalahkan terhadap majunya koruptor itu adalah partai politik pendukung. Partai politik kita sudah kehilangaan moral dan etika dalam berpolitik," kata Erwin kepada ROL, Jumat (31/7).
Walaupun menurutnya, secara hukum tidak ada masalah yang bertentangan dengan keikutsertaan mereka. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan mantan narapidana, termasuk koruptor, dapat ikut kontestasi politik seperti Pilkada.
Namun, ujar dia, hukum bukan hanya satu-satunya panduan dalam mengambil keputusan. Karena sejatinya dilihat dari moral dan etika majunya mereka dinilainya tidak etis. Seharusnya parpol bisa memilih calon lainnya yang lebih baik untuk dijadikan calon.
Beberapa calon kepala daerah di sejumlah wilayah diketahui merupakan mantan koruptor ketika berada di posisi yang sama. Seperti Jimmy Rimba Rogi yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai calon wali kota Manado. Saat menjabat sebagai Wali Kota Manado pada 2009, Jimmy terbukti bersalah melakukan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Manado tahun 2006 dan 2007.
Selain itu Soemarmo, mantan napi korupsi yang pernah tersandung kasus suap RAPBD Kota Semarang. Kini Soemarmo kembali maju menjadi calon Walikota Semarang dengan dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).