REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Indonesia Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengimbau Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memastikan mantan koruptor yang maju dalam Pilkada sudah membuat pengakuan secara jujur ke publik. Hal ini menyusul pencalonan sejumlah nama pejabat yang pernah tersangkut kasus korupsi.
"KPU harus membuat regulasi yang memastikan koruptor tersebut sudah membuat pengakuan secara jujur ke publik," kata Erwin kepada ROL, Jumat (31/7).
Kepastian ini disebutnya dapat mempengaruhi masyarakat untuk dapat memilih secara cerdas calon di daerah masing-masing. Masyarakat bisa melihat rekam jejak yang juga menjadi faktor penentu kemajuan di daerahnya ke depan.
Selain itu untuk menghindari kesalahan dalam memilih kepala daerah orang-orang yang terdidik di daerah tersebut harus memberi pemahaman relasi korupsi dan kemiskinan struktural. Apalagi di daerah dengan tingkat pendidikan rendah. Sebab masyarakat yang rendah pendidikan cenderung memilih hanya berdasarkan popularitas.
Untuk itu, pihak-pihak berperan dapat mengupayakan pencerdasan bagi masyarakat untuk memilih secara objektif. Cara masyarakat untuk keluar dr kemiskinan struktural adalah menolak koruptor terpilih kembali. Cara ini dinilai cukup dilaksanakan dalam enam bulan menjelang gelaran Pilkada berlangsung.
Sebelumnya aturan mantan narapidana dibolehkan mencalonkan diri dalam Pilkada dengan batasan waktu minimal lima tahun sejak keluar tahanan. Aturan ini kemudian dianulir Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menghapus batasan waktu dengan syarat mantan narapidana harus mengakui kepada publik kasus yang pernah menjerat sebelumnya.