REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Forum Pengembangan Perkebunan Straegis Berkelanjutan (FP2SB) Ermanto Fahamsyah mengingatkan Pemerintah Indonesia agar tetap menjaga kewaspadaan ketika menjalin kemitraan sawit dengan Malaysia. Hal tersebut terkait dimulainya pelaksanaan Piagam Pendirian Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Sawit atau The Council of Palm Oil Producing Countries (CPOP).
"Malaysia itu kan terkenal dengan 'saudara muda', terkadang nakal, jadi jangan sampai kita ditelikung lagi seperti kasus pajak ekspor tempo hari," kata dia, Ahad (22/11).
Diterangkannya, terdapat sisi positif dan negatif jalinan kerja sama. Positifnya, perjanjian berfungsi membangun bargaining position produsen sawit di tingkat perdagangan internasional. Asumsinya, Indonesia dinilai kurang kuat jika berjalan sendirian. Daya tawar akan menguat jika dilakukan bersama dengan produsen sawit lainnya.
Namun negatifnya jika Malaysia menelikung dari belakang, dalam artian tidak mematuhi perjanjian. Tentu hal tersebut akan merugikan Indonesia. "Kalau diterapkan dengan konsisten dan komitmen, ini akan positif kok," tuturnya.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, ada tiga aspek yang mesti diperhatikan yakni aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Persetujuan antara Indonesia-Malaysia dalam mengelola sawit harus ditujukan untuk mencapai ketiga aspek tersebut.
Cara menjaga komitmen perjanjian di antaranya dengan mendampingi perjanjian-perjanjian dagang yang bersifat privat oleh pemerintah. Sebab selama ini, pengusaha sawit Indonesia sangat lemah ketika menghadapi negara konsumen yang adidaya. Misalnya Eropa dan Amerika.