Kamis 13 Jul 2017 12:25 WIB

Perppu Ormas Disebut Lemah dalam Proses dan Substansi

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Peneliti PSHK Miko Susanto Ginting (tengah)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Peneliti PSHK Miko Susanto Ginting (tengah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berpendapat penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) memiliki kelemahan, baik dalam hal proses maupun substansi. Seperti dari segi prosedural, penerbitan Perppu Ormas disebut tidak memenuhi tiga prasyarat kondisi.

"Dari segi prosedural, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi tiga prasyarat kondisi sebagaimana dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 38/PUU-VII/2009," kata peneliti PSHK Miko Susanto Ginting dalam pesan singkat yang diterima Republika.co.id, Kamis (13/7).

Tiga prasyarat yang dimaksud, pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.

"Ketiga prasyarat itu tidak terpenuhi karena tidak adanya situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas. UU Ormas dengan jelas telah mengatur mekanisme penjatuhan sanksi, termasuk pembubaran terhadap ormas yang asas maupun kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945," terang Miko.

Tak hanya itu, dari segi susbtansial, Perppu Ormas menurutnya telah menghilangkan bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat di Indonesia. Yaitu, proses pembubaran organisasi melalui pengadilan.

Sebab, Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan. Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil.

"Mekanisme ini juga mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas," ucap Miko.

Seperti diketahui, Pemerintah telah resmi menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Perppu ini diyakini sebagai tindak lanjut rencana pemerintah untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap memiliki asas dan kegiatan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Pemerintah beralasan, UU Ormas belum secara komprehensif mengatur mekanisme pemberian sanksi yang efektif sehingga terjadi kekosongan hukum.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement