REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kartika Nur Rakhman menyayangkan sikap pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas).
"Perppu harusnya diterbitkan jika dalam kondisi mendesak. Saya pikir dalam kondisi kondisi sekarang ini tidak ada sesuatu yang mendesak yang membuat aksi diterbitkannya perppu tersebut," katanya menegaskan, saat dihubungi, Kamis (20/7).
Kemudian terkait pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Rakhman berpendapat, seharusnya dikembalikan ke pengadilan dengan menggunakan mekanisme yang selama ini digunakan. Sehingga ada pembuktian di pengadilan. Apalagi, lanjutnya, pembuktian di pengadilan itu bisa lebih diterima publik dibanding lewat perppu baru tersebut.
"Saya pikir juga tidak mematikan demokrasi. Semua ormas berpotensi dibubarkan dengan perppu baru itu. Selain itu, ada potensi otoriter yang ada di dalam perppu itu karena pembuktian di pengadilan tidak dilakukan," katanya.
Di samping itu, Rakhman menyampaikan, wajar jika munculnya perppu dengan tiba-tiba itu seolah-olah ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Akibatnya masyarakat menilainya sebagai upaya pemerintah untuk menekan kelompok-kelompok yang bersuara kritis terhadap pemerintah.
"Kalau mau mengubah, ya dengan mekanisme biasa aja melalui DPR RI dan lain sebagainya. Jadi, ada proses dengan kepala dingin kita bisa mencernanya," ucapnya.