Sabtu 16 Mar 2019 01:37 WIB

Obral Tarif Transportasi Online Rugikan Konsumen

Strategi obral tarif justru mengancam konsumen dan mitra pengendara di masa depan

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Esthi Maharani
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1/2019). Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menargetkan penerbitan dasar hukum untuk transportasi roda dua selesai pada bulan Februari 2019 dan pemerintah bakal resmi menjadikan ojek online sebagai angkutan umum.
Foto: Yulius Satria Wijaya/Antara
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Paledang, Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa (15/1/2019). Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menargetkan penerbitan dasar hukum untuk transportasi roda dua selesai pada bulan Februari 2019 dan pemerintah bakal resmi menjadikan ojek online sebagai angkutan umum.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penyedia jasa transportasi online terus berupaya menarik minat konsumen. Salah satunya dengan mengobral tarif untuk jasanya. Direktur Inkubator Bisnis SBM-ITB Dina Dellyana mengatakan ini merupakan strategi perang harga yang diterapkan salah satu perusahaan penyedia jasa berbasis aplikasi bisa mengarah pada praktek predatory pricing. Meskipun saat ini dirasakan menguntungkan konsumen, strategi obral tarif justru malah mengancam konsumen dan mitra pengendara di masa mendatang.

Dina mengatakan jika praktik predatory pricing berhasil memunculkan satu pemain dalam satu bisnis, maka pemerintah sekalipun akan kesulitan untuk mengendalikan harga. Di sisi lain, pemain tunggal dalam sebuah usaha akan dengan mudah memainkan tarif karena memegang penuh kendali atas konsumen.

“Kondisi ini akan berimbas pada konsumen. Publik yang tadinya terus dimanja dengan tarif murah, seketika akan dihadapkan dengan tarif tinggi, karena perusahaan penyedia jasa suatu saat juga harus mengembalikan investasi yang ia terima,” kata Dina dalam siaran persnya, Jumat (15/3).

Ia menururkan predatory pricing menjadi salah satu strategi dengan menekan harga produk serendah mungkin supaya dapat menyingkirkan pesaing dari pasar. Strategi ini juga biasa dipakai untuk mencegah pesaing baru muncul ke dalam arena usaha yang sama.

Dina, yang aktif di Divisi Pengembangan Startup Masyarakat Industri Kreatif dan Teknologi Informasi (Mikti) Indonesia itu menjelaskan, perang harga merupakan cara berkompetisi dengan memberikan harga serendah mungkin agar bisa menjadi pilihan utama konsumen. Metode itu adalah strategi mengakuisisi konsumen yang paling mudah dan cepat bagi sebuah perusahaan untuk menguasai pasar. Apalagi dengan tipe konsumen yang ada di negara berkembang di Indonesia, cara itu dianggap paling efektif untuk menggaet konsumen.

Menurutnya perusahaan yang mengawali bisnis dengan mengobral diskon akan selamanya bergantung pada strategi itu. Sebab, sejak awal konsumen yang telah terkoneksi sudah terbiasa dengan cara yang disodorkan sejak perkenalan.

"Yang jadi persoalan, perusahaan akan kesulitan mendapat margin keuntungan jika dana yang digulirkan terus difokuskan pada teknik marketing obral diskon. Di satu sisi, biaya marketing harus ditekan demi meraih keuntungan, di sisi lain konsumen sudah terbiasa dengan harga yang lebih murah," tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement