REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah secara resmi membubarkan Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi massa (ormas) Islam. Segala atribut dan kegiatannya dilarang berdasarkan Keputusan Bersama Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNPT Nomor 220/4780 tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Kb/3/12/2020 tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian FPI.
Menanggapi pembubaran FPI ini, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Cholil Nafis, mengatakan bahwa pembubaran FPI tidak terkait dengan paham aliran sesat, sehingga tidak ada pertimbangan MUI untuk itu. Ia mengatakan, berdasarkan alasan pemerintah, FPI dibubarkan karena memang tidak memiliki izin atau surat keterangan terdaftar (SKT) saat izin masa berlakunya sudah habis.
Meski begitu, memang banyak ormas lain yang tidak memiliki SKT. Karena itu, ia berharap pemerintah bisa adil untuk hal ini.
"Saya berharap pemerintah adil untuk menertibkan ormas yang tak punya SKT dan yang mengancam ideologi dan keamanan negara dari Sabang sampai Merauke," kata Cholil Nafis, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id, Kamis (31/12).
Sebelumnya kemarin Rabu, pemerintah melalui enam menteri dan pejabat lainnya menyatakan pelarangan FPI didasarkan pada enam alasan. Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mengungkapkan, salah satu alasan pembubaran FPI karena organisasi itu belum memperpanjang SKT sebagai ormas yang berlaku sampai 20 Juni 2019, sesuai dengan Keputusan Mendagri tanggal 20 Juni 2014. Karena itu, secara de jure mulai 21 Juni 2019, FPI dianggap bubar.
Selain itu, alasan lainnya ialah karena pengurus dan anggota FPI kerap melakukan razia atau sweeping di masyarakat, yang sebenarnya merupakan tugas aparat. Eddy juga menyebut, ada 35 orang pengurus dan anggota FPI yang pernah terlibat terorisme dan 29 orang telah dipidana.