REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara terhadap Pinangki Sirna Malasari. Tak hanya pidana badan, Pinangki juga dijatuhi hukuman membayar denda sebesar Rp600 juta subsider kurungan enam bulan.
Vonis hakim ini lebih tinggi dibandingkan tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hakim menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap Pinangki.
Dalam putusan, Majelis Hakim menyatakan, sosok 'king maker' dalam perkara suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) memang benar adanya. Hal tersebut tertulis dalam pertimbangan putusan Pinangki.
"Menimbang bahwa berdasarkan bukti elektronik berupa komunikasi chat menggunakan aplikasi WA yang isinya dibenarkan oleh terdakwa, saksi Anita Kolopaking, serta keterangan saksi Rahmat telah terbukti benar adanya sosok 'king maker'," kata Ketua Majelis Hakim, Ignasius Eko Purwanto, saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/2).
Sayangnya, sosok 'king maker' tersebut hingga kini belum terungkap. Adapun selama proses pesidangan, majelis hakim sudah berusaha menggali keterangan dari tersangka ataupun para saksi. Namun, sosok 'king maker' hanya sempat diperbincangkan oleh Jaksa Pinangki ketika bertemu dengan Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, dan Rahmat.
"Majelis hakim telah berupaya menggali siapa sosok 'king maker' tersebut dengan menanyakannya kepada terdakwa dan saksi Anita karena diperbincangkan dalam chat dan disebut oleh terdakwa pada pertemuan yang dihadiri oleh terdakwa, saksi Anita, saksi Rahmat, dan saksi Djoko Tjandra pada November 2020, namun tetap tidak terungkap di persidangan," ujar Hakim Eko.
Sosok 'king maker' ini erat kaitannya dengan action plan yang dibuat Pinangki. Sebab, sosok tersebutlah yang menjadi inisiator agar Djoko Tjandra tidak dieksekusi dalam pekara korupsi cessie Bank Bali.
Masih dalam pertimbangan, Majelis Hakim juga menyebut, Pinangki dan Anita sering mengurus perkara yang berhubungan dengan MA dan Kejagung. Hal tersebut terungkap dari isi pesan Whatsapp keduanya yang membahas pengurusan perkara selain Djoko Tjandra, salah satunya terkait grasi Annas Maamun.
"Menimbang bahwa dalam komunikasi chat dengan menggunakan aplikasi Whatsapp, antara terdakwa dengan Anita Kolopaking dalam nomor urut 1 sampai dengan 14 pada tanggal 26 November 2019, pukul 6.13.29 PM sampai dengan 7.50.34 PM, Percakapan ini membuktikan, selain terkait dengan kasus Djoko Tjandra, terdakwa sudah biasa mengurus perkara dengan bekerja sama dengan saksi Anita Kolopaking. Ditemukan pula percakapan terdakwa terkait grasi Annas Maamun," ungkap Hakim Eko.
Majelis Hakim menyatakan, bukti percakapan di Whatsapp itu menjadi bukti Pinangki dan Anita biasa mengurus perkara selain terkait Djoko Tjandra.
"Percakapan ini membuktikan, selain terkait dengan kasus Djoko Tjandra, terdakwa sudah biasa mengurus perkara dengan bekerja sama dengan saksi dari Anita Kolopaking khususnya terkait institusi Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung Republik Indonesia," kata Hakim.
Annas Maamun merupakan mantan gubernur Riau yang menjadi terpidana perkara korupsi alih fungsi hutan dan divonis tujuh tahun pidana penjara pada tingkat kasasi di MA. Hukuman Annas Maamun berkurang satu tahun atau kembali menjadi enam tahun sebagaimana putusan pengadilan tingkat pertama setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi melalui Keputusan Presiden 23/G Tahun 2019 yang disampaikan Kemenkumham pada 26 Oktober 2019.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menilai, Pinangki terbukti menerima suap 500 ribu dolar AS dari 1 juta dolar AS yang dijanjikan oleh terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Tak hanya itu, Majelis Hakim juga menilai, Pinangki terbukti melakukan pemufakatan jahat dan pencucian uang atas uang suap yang diterimanya dari Djoko Tjandra.
Pinangki terbukti melanggar Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ia juga terbukti bersalah melakukan permufakatan jahat melanggar Pasal 15 jo Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor. Pinangki juga terbukti melanggar Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU.