REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengevaluasi kinerja DPR RI di Masa Sidang III Tahun Sidang 2021-2022. Salah satu yang disoroti Formappi adalah pengusiran sejumlah mitra kerja DPR oleh anggota dewan dari ruang rapat. Menurutnya hal itu justru merendahkan kehormatan DPR.
"Perilaku-perilaku arogan yang dipertontonkan secara 'telanjang' kepada rakyat yang diwakili tersebut justru merendahkan citra dan kehormatan DPR," kata peneliti Formappi, Yohanes Taryono dalam konferensi pers secara daring, Jumat (11/3/2022).
Selain itu tindakan itu juga dinilai mencederai profesionalitas, proporsionalitas dan akuntabilitas pengawasan DPR. Taryono menambahkan, aksi pengusiran yang dilakukan DPR itu justru menutup kesempatan untuk mencecar kekurangan-kekurangan pihak yang diusir dalam melaksanakan program-program kerjanya.
"Misalnya mengapa serap anggarannya rendah, maupun jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian Negara bahkan korupsi. Apalagi karena agenda rapat adalah mengevaluasi pelaksanaan APBN tahun 2021 dan rencana kerja tahun anggaran 2022," ujarnya.
Diketahui, selama Masa Sidang III Tahun Sidang 2021-2022 telah terjadi berbagai insiden pengusiran mitra kerja dari ruang rapat. Mulai dari Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa yang mengusir Komnas Perempuan karena datang terlambat, lalu pengusiran Sekjen Kementerian Sosial, Harry Hikmat dari ruang rapat lantaran saat berkunjung ke dapil Wakil Ketua Komisi VIII, Ace Hasan Syadzily, Sekjen Kemensos tidak memberitahu Komisi VIII.
Hingga yang paling ramai yaitu diusirnya Direktur Utama PT Krakatau Steel, Silmy Karim, oleh sejumlah anggota Komisi VII DPR dari ruang Rapat Dengar Pendapat, karena yang bersangkutan dianggap melakukan tindakan yang 'menantang' Komisi VII DPR. Selain itu Formapi juga menyayangkan adanya pernyataan yang disampaikan Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan terkait permintaannya kepada Jaksa Agung untuk mencopot Kajati karena menggunakan bahasa Sunda dalam rapat.
"Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 9 Kode Etik yaitu Anggota harus memahami dan menjaga kemajemukan yang terdapat dalam masyarakat, baik berdasarkan suku, agama, ras, jenis kelamin, golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, maupun pilihan politik," ucapnya.