Selasa 12 Apr 2022 18:19 WIB

Presiden Minta Kepastian Hukum Pemilu, Pengamat: Revisi UU Pemilu Prioritas

Penyelenggara pemilu membutuhkan kepastian hukum.

Presiden Minta Kepastian Hukum Pemilu, Pengamat: Revisi UU Pemilu Prioritas
Foto: Dok Republika
Presiden Minta Kepastian Hukum Pemilu, Pengamat: Revisi UU Pemilu Prioritas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo resmi melantik anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027. Pelantikan digelar di Istana Negara, Jakarta Pusat.

Pelantikan anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027  kali ini disiarkan langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (12/4/2022). Pelantikan digelar secara terbatas dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang ketat

Baca Juga

Pelantikan tersebut didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 33P Tahun 2022 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan anggota KPU serta nomor 34P tentang Pemberhentian dan Pengangkatan anggota Bawaslu. Dalam kesempatan itu, presiden mengambil sumpah jabatan seluruh anggota KPU dan Bawaslu secara bersama-sama.

Adapun, anggota KPU yang dilantik meliputi Betty Epsilon Idroos, Hasyim Asy'ari, Mochammad Afifuddin, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Melaz. Sementara, anggota Bawaslu yang diangkat ialah Lolly Suhenty, Puadi, Rahmat Bagja, Totok Haryono, dan Herwyn Jefler H. Malond.

Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah mengatakan penyelenggara pemilu membutuhkan kepastian hukum dalam menjalankan semua tahapan Pemilu.

"Pak Jokowi  menyampaikan perlunya mengejar payung hukum untuk menggelar pemilu secara serentak pada 2 tahun mendatang. Menkopolhukam diminta koordinasi dengan DPR dan KPU. Saya tegaskan ini penting dan prioritas,"ujar Ramdansyah, Selasa (12/4/2022).

Ramdansyah mengatakan hal tersebut karena DPR telah mencabut Rancangan UU Pemilu No 7 Tahun 2017 dari program legislasi nasional prioritas. 

Sementara berbagai lembaga pemerhati pemilu begitu juga Presiden sudah menegaskan pentingnya payung hukum untuk pemilu 2024. Satu satunya jalan memenuhi keinginan presiden adalah dengan revisi UU 

"Sesuai harapan Presiden, maka DPR harus kembali mengajukan inisiatif RUU Pemilu atau Presiden mengeluarkan Surat Presiden dengan naskah akademik RUU Pemilu agar ini dibahas kembali dan tidak hanya jadi wacana," kata Ramdansyah.

Ramdansyah mengatakan beberapa hal yang patut masuk dalam revisi adalah keputusan MK terhadap sejumlah gugatan dari penyelenggara atau peserta pemilu.

Seperti putusan MK yang diajukan oleh Arief Budiman dan Evi Novida Ginting. Terkait dengan keputusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. 

"Itu pernah diputuskan saat saya uji materi tahun 2013-2014. Waktu it diputuskan MK dan kemudian dalam Surat presiden kepada DPR dan juga naskah akademik, pasal mengenai Keputusan DKPP berbunyi bersifat final dan mengikat  bukan lagi sebagau putusan  pengadilan, tapi lebih kepada rekomendasi. Jadi frase nya harus diganti dan itu bisa dilakukan hanya dengan revisi UU" jelas Ramdansyah.

Contoh lain pada tingkat Peraturan KPU terhadap UU lainnya. Terkadang terjadi ketidaksingkronan antara peraturan KPU dengan UU. 

"Misalnya Sipol atau Situng, dan  kemudian ada sistem informasi lainnya, ada 9 seingat saya.  Ini kemudian hanya dua disebutkan dalam UU" tambahnya lagi. Ramdansyah yang pernah mengajukan uji materi Peraturan KPU terhadap UU Pemilu di MA mengatakan, “Sistem informasi dari KPU wajib masuk dalam UU Pemilu. Kehandalan server KPU seperti yang ditetapkan dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus muncul. Tujuannya agar ada jaminan keamanan data peserta Pemilu dan masyarakat.” 

"Kalau tidak ada payung hukum  yang lebih tinggi bagi sistem informasi bagi KPU dan Bawaslu, maka Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu akan mudah dibatalkan. Karena ketika digugat ke MA dan dibatalkan oleh MA, maka berpotensi tidak ada kepastian hukum," jelas Ramdansyah.

Ramdansyah juga menyoroti terkait sejumlah lembaga etika dan peradilan Pemilu. Beberapa peradilan itu adalav peradjla  etika di DKPP, peradilan sengketa peserta dengan KPU di Bawaslu, peradilan pidana Pemilu di Pengadilan Umum.

Idealnya, keberadaan lembaga peradilan yang banyak perlu peradilan Pemilu tersendiri. 

Ia mencontohkan kerumitan akibat keragaman peradilan Pemilu. Salah satunya  ketika KPU menetapkan hasil setelah sidang Perselihan Hasil Pemilu oleh MK, Hasil penetapan itu dapat  digugat lagi di PTUN . 

"Kapan selesainya berurusan dengan Pemilu. Ada banyak lembaga peradilan yang menangani Pemilu Ini harus disatukan dalam satu Peradilan Pemilu, dan ini perlu masuk dalam revisi UU Pemilu," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement