REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang pedagang pecel lele, Muhammad Hasan Basri, mengajukan uji materi Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK sudah melaksanakan sidang pemeriksaan pendahuluan perkara yang diregistrasi dengan nomor 51/PUU-XX/2022 tersebut pada Selasa (26/4/2022).
Pemohon mengujikan Pasal 29 ayat 1 UU Perdagangan yang menyatakan, "Pelaku Usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang."
Ahmad Irawan selaku kuasa hukum Hasan Basri mengatakan, Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan merugikan hak konstitusional pemohon. Sebab, adanya praktik distribusi dan penyimpanan minyak goreng (migor) memicu fenomena kelangkaan dan kenaikan harga migor.
"Berdasarkan norma tersebut meskipun norma itu mengandung larangan tetapi distributor tetap masih bisa menyimpan minyak goreng dalam jumlah dan waktu tertentu. Itulah yang sedang yang kami uji, Yang Mulia terkait dengan inti normanya dalam jumlah dan waktu tertentu," ujar Irawan dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
Irawan melanjutkan, apabila minyak goreng tidak terdapat di pasaran, pemohon tidak dapat bekerja. Namun, jika harga migor tinggi, maka berpengaruh terhadap daya beli dan harga jual barang dagangan yang diusahakan pemohon, sehingga menghambat pemohon dalam bekerja dan berdagang.
"Minyak goreng yang tidak tersedia atau minyak goreng yang mahal menurut batas penalaran yang wajar dapat membuat pemohon tidak dapat bekerja. Jika pemohon tidak dapat bekerja maka pemohon dan keluarga tidak dapat hidup layak. Padahal pemohon sebagai warga negara sesuai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan," kata Irawan.
Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan pemohon untuk mempertajam kerugian hak konstitusional yang dialami. “Mungkin dicari satu atau dua yang paling tepat dan itu diuraikan kenapa hak konstitusional yang ada dalam pasal konstitusi itu yang dirugikan yang menjadi dasar untuk menjelaskan kerugian Pemohon terkait dengan pasal yang diajukan,” kata dia.
Selain itu, pada pokok permohonan pemohon, Saldi menasihati pemohon untuk mempertajam alasan pasal yang diuji bertentangan dengan UUD. “Ini lebih ke penjelasan-penjelasan praktis padahal kita masih perlu bangunan yang agak kuat mengapa pasal ini bertentangan dengan UUD terutama dasar yang dijadikan untuk menilai atau batu uji konstitusionalitas,” ucap dia.
Di samping itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyarankan pemohon untuk menguraikan batu uji. “Kalau semakin banyak batu uji dalam UUD 1945 dijadikan batu uji maka harus diuraikan. Jadi Pasal 29 ayat (1) ini di UUD itu pasal berapa yang dijadikan dan kemudian diuraikan adanya pertentangan norma itu," kata dia.
Kemudian, terhadap posita dan petitum, Daniel meminta pemohon untuk mendalami Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang. “Nanti diperhatikan terkait dengan alasan-alasan permohonan dan juga nanti petitumnya," tutur dia.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan, pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Penyerahan perbaikan permohonan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan pada 9 Mei 2022 dua jam sebelum dimulainya persidangan perbaikan permohonan.