REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas meminta para bupati yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) untuk mengaudit kebenaran data dalam pendataan tenaga non-ASN.
Menurut Azwar, hal tersebut perlu dilakukan sebagai wujud pengawasan dari pemerintah daerah dalam pendataan tenaga non-aparatur sipil negara (non-ASN) yang merupakan langkah awal penyelesaian persoalan wacana penghapusan tenaga non-ASN atau tenaga honorer pada 2023.
Hal tersebut dia sampaikan dalam rapat koordinasi antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Apkasi, serta empat kementerian lainnya, di Jakarta, Rabu.
Di samping itu, Azwar pun meminta para bupati agar mengirimkan surat pernyataan pertanggungjawaban mutlak (SPTJM) kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) sebagai bentuk komitmen dan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan oleh mereka mengenai validitas data tenaga non-ASN di daerahnya.
Selanjutnya, dia mengatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kemenpan RB, akan berkolaborasi dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam mengaudit data tenaga non-ASN yang diajukan pemerintah daerah untuk memastikannya data sesuai dengan persyaratan.
"Akan ada audit data untuk memastikan data tenaga non-ASN yang dikirimkan sesuai dengan yang disyaratkan," ucapnya, sebagaimana dikutip dalam siaran pers.
Selanjutnya, dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Apkasi Sutan Riska Tuanku Kerajaan mengatakan bahwa daerah-daerah di Tanah Air memang tengah menghadapi permasalahan tenaga non-ASN dengan adanya wacana penghapusan tenaga non-ASN atau tenaga honorer pada tahun 2023.
"Para tenaga non-ASN ini banyak ditempatkan di garda depan dalam pelayanan masyarakat, seperti guru, tenaga kesehatan, satpol PP, pemadam kebakaran, dan dinas perhubungan, termasuk mereka yang rela bertugas di daerah terpencil atau daerah perbatasan yang tentu merasa khawatir akan kehilangan pekerjaannya," ucap Sutan.
Penghapusan tenaga non-ASN pun, kata dia, menimbulkan dilema karena seleksi terbuka pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) terasa berat bagi tenaga honorer lama yang harus bersaing dengan sarjana yang baru lulus.
Sementara itu, pengangkatan seluruh tenaga non-ASN atau honorer menjadi PPPK oleh pemerintah daerah (pemda) juga akan membebani APBD.
"Bagi pemda, pengangkatan PPPK sebagai konsekuensi penghapusan tenaga honorer jelas akan membebani APBD, mengingat PPPK ini memiliki standar gaji dan tunjangan yang hampir sama dengan PNS," kata dia.
Ia bahkan berpendapat pengangkatan seluruh tenaga honorer menjadi PPPK bukanlah solusi yang terbaik karena berpotensi membuat etos kerja tenaga honorer tidak baik.
Oleh karena itu, Apkasi berinisiatif menggelar rapat koordinasi bersama Kemenpan RB dan empat kementerian lain, yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri); Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek); Kementerian Kesehatan (Kemenkes); dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Ia berharap rapat tersebut mampu menghadirkan titik temu atau solusi terbaik mengenai permasalahan tenaga non-ASN ataupun tenaga honorer di lingkungan pemerintah daerah.