REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Partai Buruh Said Iqbal menegaskan, pihaknya menolak upah minimum provinsi (UMP) 2023 mengacu pada PP 36/2021. Menurutnya, omnibuslaw UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Dengan demikian, PP No 36 sebagai aturan turunan dari undang-undang Cipta Kerja juga inskonstutusional.
"Jadi, yang dipakai rumus kenaikan UMK adalah inflasi plus pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 13 persen" ujar Said Iqbal dalam keterangannya, Kamis (11/11/2022).
Purchasing power atau daya beli buruh sudah turun 30 persen akibat 3 tahun tidak ada kenaikan upah. Ditambah lagi, dengan kenaikan harga BBM membuat inflasi tembus lebih dari 6,5 persen. Sementara itu pertumbuhan ekonomi saat ini sangat bagus 5,72 persen. Maka kenaikan 13 persen sangatlah wajar.
"Jadi tidak masuk akal kalau kenaikan UMP/UMK di bawah nilai inflasi dengan rumus PP No 36," kata Said Iqbal.
Sementara itu, menanggapi pernyataan kelompok pengusaha terkait dengan no work no pay, Said Iqbal menegaskan penolakannya. Disebutnya, hal itu melanggar undang-undang Ketenagakerjaan dan upah buruh Indonesia bersifat upah bulanan, bukan upah harian. Ia juga menegaskan bahwa dalam undang-undang Ketenagakerjaan tidak boleh memotong gaji pokok.
Di samping itu, dalam Pasal 93 UU Ketenagakerjaan ditegaskan, bahwa upah buruh harus tetap dibayar jika buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha. Dalam hal ini buruh ingin tetap bekerja, bukan dirumahkan. Maka upah harus tetap dibayar.
"Terkait dengan dalih merumahkan untuk menghindari PHK, itu hanya akal-akalan saja. Tidak ada alasan untuk pengusaha lakukan PHK karena pertumbuhan ekonomi Indonesia terbaik nomor 3 dunia. Tapi upah buruh indonesia rendah sekali akibat omnibus law," tutup Iqbal.