REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Mohammad Syahril mengungkapkan, 14 pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) yang masih dirawat masuk dalam kategori stadium III, stadium paling berat. Dia berharap, pengobatan dengan pemberian obat penawar fomepizole dapat membantu kesembuhan mereka.
"Dia masuk dalam kategori stadium III. Itu kan ada tiga stadium. Tiga ini paling berat. Berarti memang kerusakan ginjalnya cukup parah," ujar Syahril dalam konferensi pers, Rabu (16/11/2022).
Dia mengatakan, 14 pasien tersebut saat ini masih dirawat secara intensif di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Menurut Syahril, pasien tersebut tidak memiliki komorbid atau penyakit penyrta karena masih anak-anak.
"Sebetulnya tidak ada penyakit komorbid yang lain karena ini masih anak-anak semua. Masih perlu waktu untuk dilakukan perawatan-perawatan intensif. Mudah-mudahan dengan ada obatnya ini akan bisa membantu. Mohon doanya," kata dia.
Kemenkes mengungkapkan, tidak ada penambahan jumlah kasus penyakit GGAPA dalam dua pekan terakhir. Hingga 15 November 2022 pukul 16.00 WIB, kasus penyakit gagal ginjal akut berjumlah 324 kasus. Di mana 199 pasien meninggal dunia, 111 pasien dinyatakan sembuh, dan 14 pasien masih dilakukan perawatan intensif.
"Tidak ada pertambahan kasus (sejak 2 November 2022). Jadi alhamdulillah tidak ada pertambahan kasus sehingga tetap sebanyak 324 selama dua pekan terakhir ini," kata Syahril.
Terkait penyakit tersebut, pihaknya bersama dengan RSCM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), epidemolog, dan ahli forensik khusus toksikologi sudah memastikan penyebabnya lewat kajian dan penelitian yang mendalam. Di mana ditarik kesimpulan, kasus GGAPA yang terjadi kenaikannya mulai Agustus-Oktober disebabkan oleh intoksikasi zat etilen glikol dan dietilen glikol.
"Itu disebabkan karena intoksikasi zat etilen glikol dan dietilen glikol yang ada atau tercampur dalam obat sirop yang diminum oleh anak-anak," jelas Syahril.
Dengan hasil penelitian itu, pihaknya mengeluarkan pelarangan penggunaan obat-obat tertentu yang mengandung zat tersebut. Kemudian pihaknya dan BPOM juga menetapkan atau mengadakan obat antidotumnya. Gerak cepat tersebut menghasilkan apa yang terjadi saat ini, yakni tidak adanya penambahan kasus lebih lanjut.