REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) meminta masyarakat agar terlebih dahulu memahami isi dari pasal-pasal yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru sebelum menyampaikan kritik.
"Jangan asal ngomong, jadi sebelum bertanya baca dulu. Kalau sudah baca paham dulu ya," kata Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta, Senin (12/12/2022).
Hal tersebut disampaikan Wamenkumham menanggapi pertanyaan soal Pasal 263 KUHP. Mengacu draf RUU KUHP versi 30 November 2022 pasal tersebut mengatur soal penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
Lengkapnya, Pasal 263 Ayat (1) berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Kemudian Ayat (2) berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Kepada wartawan, Prof Eddy mengatakan pasal tersebut bukanlah pasal baru karena sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tepatnya Pasal 14 dan 15. Pada kesempatan itu, Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut menegaskan tidak ada masalah dengan adanya Pasal 263 yang diatur dalam KUHP yang baru saja disahkan Pemerintah bersama DPR pada Selasa (6/12/2022).
Senada dengan itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan sebelum KUHP yang baru disahkan menjadi undang-undang, pemerintah telah berkoordinasi dengan Dewan Pers. "Kita sudah ketemu dengan Dewan Pers dan menjelaskannya," ujar dia.