REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menolak pemilihan legislatif (Pileg) kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. Karena itu, Perludem mengajukan diri menjadi pihak terkait ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk sidang uji materi Pasal 168 UU Pemilu, yang mengatur pileg menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Perludem sedang menunggu Mahkamah untuk menerima dan menetapkan Perludem sebagai Pihak Terkait dalam uji materil, sekaligus menunggu proses persidangan berikutnya," kata Ketua Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati lewat siaran persnya, Kamis (19/1/2023).
Ninis, sapaan akrab Khoirunnisa, mengatakan pihaknya punya empat argumentasi mengapa menolak sistem proporsional tertutup alias pemilih hanya mencoblos partai. Pertama, perubahan sistem pemilu seharusnya dilakukan dalam proses legislasi di parlemen, bukan di MK. Sebab, perubahan sistem pemilu akan berdampak luas sehingga setiap perubahannya harus dilakukan secara hati-hati, demokratis, dan partisipatif di parlemen.
Kedua, penerapan sistem proporsional tertutup bakal membuat pemilih tidak lagi bisa menentukan caleg yang diinginkan karena hanya bisa mencoblos partai. Sedangkan dalam sistem proporsional terbuka yang berlaku sekarang, pemilih bisa mencoblos caleg yang diinginkan.
Ninis mengatakan, dalam sistem proporsional terbuka, partai punya otoritas penuh dalam menentukan caleg. Sedangkan pemilih memegang otoritas dalam menentukan caleg yang akan duduk di parlemen. "Sistem pemilu proporsional terbuka ... mendorong calon anggota legislatif untuk bersetia kepada dua aktor utama sekaligus (partai dan pemilih)," katanya.
Ketiga, sistem proporsional tertutup berpotensi memunculkan transaksi politik antara caleg dan elite partai. Selain itu, proporsional tertutup bakal memperburuk demokrasi di internal partai.
Ninis menjelaskan, dua masalah itu berpotensi muncul karena dalam sistem proporsional tertutup, pemenang kursi ditentukan oleh nomor urut caleg. Dengan begitu, caleg akan melakukan segala cara untuk mendapatkan nomor urut teratas.
Keempat, penerapan sistem proporsional terbuka yang diatur dalam UU Pemilu tidak mengandung permasalahan konstitusional dan tidak terdapat permasalahan ketidakpastian hukum. Secara penerapan, sistem proporsional terbuka sudah dipakai sejak Pemilu 2009.
Menurut Ninis, gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini merupakan upaya menarik dan memaksa MK ke ranah penentuan sistem pemilu yang jelas bukan ranahnya. Jika MK mengabulkan gugatan tersebut, maka akan berdampak serius terhadap bangunan sistem penyelenggaraan pemilu.
"Jika nanti Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa sistem pemilu yang paling konstitusional adalah sistem pemilu proporsional daftar tertutup, maka (lembaga pembentuk undang-undang) tidak bisa lagi melakukan evaluasi, perbaikan, dan pembenahan atas sistem pemilu," ujar Ninis.