Rabu 15 Feb 2023 19:51 WIB

Alasan Hakim Nilai Richard Eliezer Sebagai Justice Collaborator dan Jatuhkan Vonis Ringan

Vonis 1,5 tahun penjara untuk Richard Eliezer jauh dari tuntutan 12 tahun dari jaksa.

Terdakwa Richard Eliezer saat menjalani sidang vonis dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023). Majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Richard Eliezer penjara selama 1 tahun 6 bulan atau lebih ringan dari tuntutan jaksa penunutut umum sebelumnya yakni penjara 12 tahun.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Richard Eliezer saat menjalani sidang vonis dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023). Majelis hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Richard Eliezer penjara selama 1 tahun 6 bulan atau lebih ringan dari tuntutan jaksa penunutut umum sebelumnya yakni penjara 12 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono

Mengapa majelis hakim menghukum ringan terdakwa Richard Eliezer (RE)? Padahal dalam putusannya, para 'wakil Tuhan' di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) itu bulat-mufakat menyatakan anggota Brimob 24 tahun tersebut terbukti bersalah, turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J).

Baca Juga

Bahkan hakim juga, menerima pembuktian Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam rekuisitor yang mengatakan, pemuda asal Manado, Sulawesi Utara (Sulut) itu sebagai eksekutor pembunuhan di Duren Tiga 46 tersebut. Atas bukti tersebut, jaksa dalam penuntutan, Rabu (18/1/2023) meminta majelis hakim agar menghukum Richard dengan pidana penjara selama 12 tahun.

Jaksa menilai Richerd terbukti melanggar Pasal 340 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Dan menyatakan Richard bukanlah sebagai justice collaborator (JC), atau saksi-pelaku yang membantu, serta turut bekerja sama mengungkap fakta, serta rangkaian peristiwa pembunuhan berencana Brigadir J. Penilaian jaksa tersebut mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower dan JC, serta Undang-undang (UU) LPSK 31/2014.

Namun begitu, majelis hakim dalam putusannya, Rabu (15/2/2023), benar-benar membuang penilaian jaksa dalam rekusitornya terhadap Richard tersebut. Pun majelis hakim mengabaikan desakan jaksa, agar menghukum Richard selama 12 tahun penjara.

Majelis hakim memang menyatakan Richard bersalah, melakukan perampasan nyawa, dan turut-serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J. Tetapi dalam putusannya, hakim menghukum Richard dengan penjara selama satu setengah tahun.

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eleizer Pudihiang Limiu dengan pidana selama 1 tahun 6 bulan,”  kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso saat membacakan vonisnya di PN Jaksel, Rabu (15/2/2023).

Pun hukuman ringan dari majelis hakim itu, dipotong masa tahanan. Richard sudah dalam status penahanan sejak akhir Juli 2022 di Rutan Bareskrim Polri.

Artinya Richard, akan menjalani hukuman penjara hanya tinggal satu tahun lagi. Majelis hakim, pun menyangkal penilaian jaksa yang menyebut Richard bukanlah sebagai saksi-pelaku yang bekerja sama. Hakim dalam putusannya menebalkan status Richard sebagai justice collaborator.

“Menetapkan terdakwa Richard ELiezer Pudihiang Limiu sebagai saksi-pelaku yang bekerja sama, atau justice collaborator,” sambung Hakim Wahyu dalam putusannya.

Penetapan status justice collaborator inilah yang sebenarnya menjadi satu-satunya alasan yuridis paling kuat dalam pertimbangan majelis hakim dalam penghukuman ringan terhadap Richard. Bahkan majelis hakim, pun melakukan langkah progresif dengan melakukan penyimpangan yang positif terhadap SEMA 4/2011 tentang whistleblower, dan JC.     

Hakim Alimin, dalam penjelasan pertimbangan hukum atas putusan terhadap Richard mengatakan, mengacu SEMA 4/2011 memang perkara pembunuhan berencana, tak masuk dalam kualifikasi pemberian status justice collaborator. Karena dalam aturan mahkamah tersebut hanya memberikan peluang status justice collaborator terhadap saksi-pelaku dalam perkara-perkara tidak pidana tertentu. 

“Seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang (TPPU), perdagangan orang (TPPO), maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir, yang telah menimbulkan masalah dan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga, serta nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan, dan supremasi hukum,”  terang Hakim Alimin.

Akan tetapi kata dia, SEMA 4/2011 terbit lebih awal dari Undang-undang (UU) 31/2014 tentang revisi terhadap UU Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) 13/2006. Dalam UU LPSK tersebut mengatur soal kompensasi hukuman ringan sebagai penghargaan atas pengungkapan fakta dan kerja sama yang dilakukan oleh saksi-pelaku atau justice collaborator.

 

 

Menurut Hakim Alimin, meskipun dalam pelaksanaan UU LPSK tersebut mengacu pada SEMA 4/2011, akan tetapi, aturan mahkamah tersebut tak mengakomodir perkembangan hukum di masyarakat yang menuntut keadilan lebih terhadap saksi-pelaku dalam tindak pidana tertentu lainnya. Hakim Alimin mencontohkan tindak pidana tertentu lainnya itu dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J, yang menyeret terdakwa Richard.

Karena itu, majelis hakim, kata Alimin, menyatakan keluar dari pemahaman SEMA 4/2011 dengan merujuk UU LPSK yang dapat memberikan status justice collaborator terhadap Richard sebagai terdakwa pembunuhan berencana. Meskipun kasusnya tak masuk dalam kualifikasi SEMA 4/2011.

“Majelis hakim melihat perkembangan keadilan di dalam masyarakat yang menghendaki bahwa whistleblower, dan saksi-pelaku yang bekerja sama, atau justice collaborator tidak semata-mata hanya didasarkan dengan tindak pidana tertentu yang diatur dalam SEMA 4 Tahun 2011,” kata Hakim Alimin.

Majelis hakim, pun kata Alimin, menjadikan Richard sebagai justice collaborator dengan mendasarkan penilaiannya yang sesuai Pasal 28 ayat (2) huruf a UU LPSK. “Di mana dijelaskan tindak pidana tertentu lainnya yang dimaksud, juga termasuk tindak pidana yang mengaitkan posisi saksi-pelaku, dan korban pada situasi yang membahayakan jiwa dan keselamatannya,” kata Hakim Alimin.

Dan terdakwa Richard, sebagai saksi-pelaku yang melakukan pembunuhan Brigadir J, dalam menjalani proses hukum ditetapkan dalam perlindungan oleh LPSK. Perlindungan oleh lembaga resmi negara tersebut, dikatakan Hakim Alimin, tentu saja setelah melewati pertimbangan, dan observasi atas kondisi Richard yang dalam posisi terancam keselamatan dan jiwanya akibat kesaksian, maupun dalam pengungkapan peran para pelaku lainnya.

“Dalam hal ini, terdakwa Richard Eliezer Pudihang Limiu, memiliki peran sebagai orang yang menembak korban Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Di mana perbuatan terdakwa (Richard) tersebut, dilakukan dengan perintah oleh Ferdy Sambo sebagai pencetus, pembuat ide, aktor intelektual, perancang, sekaligus orang yang turut serta melakukan penembakan terhadap korban Yoshua Hutabarat,” kata Hakim Alimin.

Menurut Alimin, Richard terpaut 18 hirarki kepangkatan dari Ferdy Sambo yang saat pembunuhan terjadi, masih menjabat sebagai kepala Divisi Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal Polisi. Alimin menambahkan, peran terdakwa Sambo sebagai dalang utama pembunuhan berencana Brigadir J, tentunya akan memengaruhi kondisi psikologis, serta keselamatan jiwa Richard yang juga sebagai pelaku.

“Meskipun terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu benar orang yang melakukan penembakan terhadap korban Yoshua Hutabarat, tetapi terdakwa bukanlah pelaku utama,” terang Hakim Alimin.

Peran Richard yang dapat dilabeli sebagai justice collaborator, kata Hakim Alimin, juga dengan melihat peran Richard sebagai penguak fakta atas pembunuhan Brigadir J di persidangan. Termasuk kata Hakim Alimin, terkait peran Richard sebagai saksi-pelaku yang membeberkan rangkaian peristiwa, hingga peran-peran serta para pelaku lain yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir J.

Padahal, dikatakan Hakim Alimin, dalam pengungkapan fakta dan kebenaran atas pembunuhan berencana Brigadir J tersebut, diwarnai dengan kerumitan selama proses hukum. Itu karena adanya praktik obstruction of justice.

Obstruction of justice itu berupa persekongkolan untuk membuat skenario palsu atau kematian Brigadir J. Sampai dengan pemusnahan, perusakan, dan sabotase alat-alat bukti.

Kondisi tersebut, menurut Hakim Alimin tentunya menjadi penghambat utama dalam pengungkapan kebenaran atas peristiwa pembunuhan Brigadir J. Akan tetapi, peran Richard sebagai saksi-pelaku mampu memberikan kesaksian, dan pengungkapan fakta yang membuat terang peristiwa pembunuhan berencana tersebut.

“Bahwa fakta persidangan telah menunjukkan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Limiu telah membuat terang perkara hilangnya nyawa korban Yoshua Hutabarat dengan memberikan keterangan yang jujur, konsisten, logis, serta berkesesuaian dengan alat bukti tersisa. Sehingga sangat membantu perkara a quo (pembunuhan Brigadir J) dapat terungkap. Meskipun untuk itu, menempatkan terdakwa (Richard) pada posisi dan sitauasi yang sangat membahayakan jiwanya. Mengingat terdakwa praktis berjalan sendirian (dalam pengungkapan kebenaran pembunuhan Brigadir J),” kata Hakim Alimin.

Karena alasan dan pertimbangan tersebut, kata Hakim Alimin, majelis mufakat untuk memberikan keringanan terhadap Richard sebagai justice collaborator. “Bahwa hal-hal yang meringankan terdakwa (Richard), adalah di antaranya, bahwa terdakwa adalah saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator,” kata Hakim Alimin.

In Picture: Ekspresi Orang Tua Brigadir J Usai Putri Candrawathi Divonis 20 Tahun Penjara

 

photo
 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement