Senin 27 Mar 2023 14:05 WIB

Jokowi Didesak Cabut Paket Kebijakan Penyelesaian Pelanggaran HAM

PBHI mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut aturan penyelesaian kasus HAM masa lalu.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Julius Ibrani (kiri). PBHI mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut aturan penyelesaian kasus HAM masa lalu.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Julius Ibrani (kiri). PBHI mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut aturan penyelesaian kasus HAM masa lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengkritik pedas terbitnya aturan tindaklanjut dari tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM). PBHI mendesak Presiden Joko Widodo mencabut aturan tersebut. 

Aturan yang dikritik PBHI ialah Keppres No. 4/2023 Tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat dan Inpres No. 2/2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Yang Berat.

Baca Juga

"Kebijakan ini menegaskan adanya strategi gimmick dan cuci dosa negara yang justru melanggengkan pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangannya, Senin (27/3/2023). 

PBHI menyoroti beberapa hal atas terbitnya regulasi itu. Pertama, tidak terpenuhinya prinsip transparansi dan partisipatif sehingga tidak mengakomodasi kepentingan korban berupa pengungkapan kebenaran, ajudikasi, reformasi institusional dan reparasi korban. Padahal pengungkapan kebenaran atas peristiwa yang terjadi di masa lalu menurut PBHI sangat mendesak. 

"Mengenai siapa pelaku dari instansi mana, apa perbuatannya dan apa alasannya yang harusnya jadi dasar ajudikasi dan reformasi institusional untuk menghentikan impunitas pelaku serta menjamin tidak ada keberulangan peristiwa, lalu reparasi melalui identifikasi apa dampak dan kerugian bagi korban," ujar Julius. 

Berikutnya, Keppres Nomor 4/2023 memandatkan 19 orang Tim dan 46 orang Tim Pelaksana. Namun PBHI menyayangkan tidak ada proses seleksi terbuka dan pemeriksaan latar belakang serta kapasitas mereka terkait HAM.

Bahkan mirisnya terjadi konflik kepentingan karena ada beberapa nama yang terlibat atau Pelaku Pelanggaran HAM Berat yang berasal dari institusi Pelanggar HAM Berat juga. 

"Tentu ini yang sebenarnya menghalangi penyelesaian di level pengungkapan kebenaran, pengadilan HAM (ajudikasi) dan reformasi institusional. Sebaliknya, kebijakan ini memang berniat jahat untuk menghambat penyelesaian yang sebenarnya karena memasukkan nama dan instansi asal Pelanggar HAM," ujar Julius. 

Adapun Inpres No. 2/2023 mempertegas ketiadaan pengadilan dengan menggunakan kata “dugaan” sebelum “pelanggaran HAM Berat” pada bagian tugas untuk Jaksa Agung. PBHI menyebut kata “dugaan” tidak ada di pasal atau ayat lainnya, justru langsung menyebutkan “peristiwa pelanggaran HAM Berat..”. 

"Padahal peran utama Jaksa Agung dalam kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat adalah untuk melakukan penuntutan di hadapan pengadilan HAM. Artinya, proses pengadilan akan tetap ditiadakan," sebut Julius. 

Atas dasar itu, PBHI menuntut agar Presiden Jokowi mencabut Keppres 4/2023 dan Inpres 2/2023. Kedua, Presiden Jokowi diminta mengambil kebijakan holistik dan komprehensif untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu, dengan merunut pengungkapan kebenaran, pengadilan, reformasi institusional dan reparasi korban secara utuh.

Ketiga, Presiden Jokowi diminta memerintahkan Jaksa Agung segera menindaklanjuti Rekomendasi Komnas HAM untuk melakukan penuntutan di Pengadilan HAM.

"Keempat, Presiden Jokowi diminta untuk melibatkan korban secara penuh dan menyeluruh, tanpa memilah dan memilih pihak-pihak tertentu saja yang berada di lingkaran Istana," ujar Julius. 

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Air. Kasus pelanggaran HAM berat tersebut, yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999.

Kemudian, ada pula peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA Aceh 1999, peristiwa Wasior Papua 2001-2002, peristiwa Wamena Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Pada pertengahan Maret, Presiden Jokowi menandatangani Keppres Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Tim Pemantau PPHAM.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement