Rabu 11 Oct 2023 19:50 WIB

Bukan Hanya Penjaga Konstitusi, MK Dinilai Sebagai Penjaga Demokrasi.

Sengketa pemilu merupakan sengketa yang sensitif.

Red: Muhammad Hafil
Petugas keamanan berjalan di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (3/10/2022).
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Petugas keamanan berjalan di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (3/10/2022).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - - Selain Pilpres yang menentukan kepemimpinan nasional lima tahun mendatang, Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 sebenarnya tidak kalah penting. Sayangnya, di tingkat nasional isu tersebut kurang mendapatkan perhatian. Publik, terutama di media sosial, lebih asik melihat dan memantau dinamika politik capres dan cawapres. 

Padahal, Pilkada Serentak 2024 merupakan pertama kalinya melibatkan seluruh propinsi, kabupaten dan kota di Indonesia terkecuali Propinsi DIY yang gubernya tidak dipilih. Pelaksanaan pemungutan suara direncanakan Pilkada Serentak 2024 pada 27 November 2024, secara total akan diikuti 548 daerah dengan rincian 38 provinsi, 415 kabupaten, dan 98 kota.

Baca Juga

Bagaimana sesungguhnya rakyat mengambil sikap dalam menghadapi Pemilu 2024. Praktisi Hukum dan Pemerhati Polsosbud Agus Widjajanto SH MH memberikan gambaran seputar hajat demokrasi lima tahunan tersebut.

"Pemilu dalam demokrasi merupakan bentuk kedaulatan masyarakat yang mengangkat pejabat  terpilih," ujar Agus, Rabu (11/10/2023). 

Ia mengungkapkan, Pemilu merupakan elemen yang sangat penting dalam demokrasi dan dalam proses penyelenggaraannya sebagai sarana demokrasi harus tunduk pada supremasi hukum. Di mana salah satu parameter mengukur demokratis atau tidaknya suatu negara adalah bagaimana negara itu melakukan proses pemilihannya.  

Pemilu merupakan bagian sah dari lembaga demokrasi dan sebagai parameter berfungsinya forum politik demokrasi. Melalui pemilu, suara dan kehendak rakyat menjadi dasar penentuan jabatan publik. Suatu sistem politik dikatakan demokratis jika memiliki prosedur pemilihan umum yang teratur untuk sirkulasi elit.

"Pemilu sebagai proses politik rentan terhadap pelanggaran aturan pemilu, khususnya kecurangan pemilu, yang dapat mempengaruhi kampanye pemilu, kejahatan pemilu, kebijakan moneter, dan hasil pemilu. Pelanggaran yang berujung pada sengketa pemilu," urai Agus Widjajanto.

Terkait hal ini pula, Agus mengingatkan agar 'pengadil' sengketa Pemilu yaitu Mahkamah Konstitusi membatasi diri pada kasus-kasus dengan komponen politik yang kuat agar tidak dipolitisasi oleh kekuatan lain. 

Agus meyakini jika hakim konstitusi akan menjaga keseimbangan antara keadilan, transparansi, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan gugatan hasil pemilu. Meski diperkirakan jumlah gugatan hasil pemilu akan meningkat di Pemilu 2024. Disebutkan pula kegagalan MK mengadili sengketa hasil pemilu secara adil dan tidak memihak akan memiliki dampak politik yang serius.

"MK itu bukan hanya penjaga konstitusi, tetapi juga penjaga demokrasi. Dalam membela administrasi, kecurangan pemilu, dan kontroversi di tahapan pemilu sebagai alasan keberatan pemohon (penggugat)," jelasnya. 

Agus Widjajanto melanjutkan, kejahatan pemilu sebenarnya dapat diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, termasuk kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Di sisi lain, pelanggaran administratif dapat diselesaikan oleh komisi pemilihan lokal. 

Sementara perselisihan dalam proses atau tahapan pemilu diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Komisi Pengawas Pemilu (Panwaslu). Namun karena pelanggaran struktural, sistemik, dan merajalela, maka harus dipertimbangkan dibentuknya peradilan khusus pemilu. 

Peradilan khusus pemilu ini nantinya mengadili pelanggaran pemilu secara sistemik, khususnya Pemilu Kepala Daerah dimana selama ini melalui proses gugatan di PTUN yang ada di propinsi. Hal tersebut sangat menyulitkan pencari keadilan dalam kaitan asas peradilan yang cepat dan biaya murah. 

"Pendapat ini harus kita dukung. Mengingat sengketa pemilu merupakan sengketa yang sensitif dan membutuhkan partisipasi masyarakat yang luas, penyelesaian sengketa pemilu secara hukum di daerah diharapkan dapat menjadi preseden yang baik bagi penegakan hukum di Indonesia," ucapnya. 

Pria kelahiran Kudus Jawa Tengah itu, apabila sengketa serupa berhasil diselesaikan oleh Peradilan khusus pemilu  maka proses penguatan demokrasi Indonesia akan menjadi lebih jelas. Karena itu, Agus mengingatkan bahwa "rule of law" sebagai satu-satunya prinsip demokrasi harus diikuti oleh semua elemen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement