Kamis 02 May 2024 14:42 WIB

Ada Yahudi di Balik UU Kebebasan Beragama Amerika, Apa Jadinya?

Kasus Islamofobia mengalami peningkatan di Amerika.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Islamofobia di AS (ilustrasi)
Foto:

Berdasarkan laporan ini, Departemen Luar Negeri AS mengidentifikasi negara-negara yang mereka sebut sebagai "Negara-Negara yang Menjadi Perhatian Khusus" karena pelanggaran kebebasan beragama yang sistematis, berkelanjutan, dan berat. Negara-negara tersebut dapat dikenakan sanksi oleh Amerika Serikat, termasuk sanksi ekonomi.

Pertanyaannya, adakah daftar pelanggar kebebasan beragama di Amerika? Apakah ada pengecualian untuk kepentingan tertentu? Departemen Luar Negeri AS mengumumkan pada 2 Desember 2022, masuknya beberapa negara, kelompok, entitas teroris, dan organisasi bersenjata ke dalam daftar pelanggar kebebasan beragama.

Itu merujuk pada dimasukkannya Kuba dan Nikaragua dalam daftar negara-negara yang menjadi perhatian khusus dalam hal pelanggaran kebebasan beragama yang menonjol di negara-negara tersebut. Sementara China, Rusia, Iran, Burma, Eritrea, Korea Utara, dan Pakistan, tetap masuk dalam daftar ini.

Menurut seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, pengecualian dikeluarkan untuk Pakistan, Arab Saudi, Tajikistan, dan Turkmenistan di tahun tersebut karena ada kepentingan nasional AS hingga menerapkan pengecualian ini.

Blinken juga menambahkan, AS akan terus memantau dengan cermat situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di seluruh dunia, dan akan membela hak-hak individu yang teraniaya secara agama. Termasuk bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi praktik tidak pantas yang membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan menyambut baik peluang dialog untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki situasi.

Namun di sisi lain, pasca peristiwa 11 September, AS bergegas memperketat undang-undang terkait keamanan nasional, dan di antara undang-undang tersebut, tindakan pembatasan diambil terhadap umat Islam.

Meski AS menggambarkan dirinya sebagai negara di mana “rule of law” berlaku, tindakan yang diambil terhadap umat Islam didasarkan pada kebijakan keamanan dan dianggap sah dari sudut pandang pemerintah federal dan negara bagian setempat.

Di tingkat federal, dan selama bertahun-tahun, kelompok-kelompok seperti American Public Policy Alliance (APPA) dan Center for Security Policy telah muncul untuk mendukung teori konspirasi sayap kanan, yang memperingatkan ancaman hukum Islam di AS.

Kemudian muncul regulasi yang disahkan oleh Kongres AS ini dikenal sebagai "Otorisasi Kekuatan Militer", yang memberikan wewenang kepada Presiden George Bush untuk menggunakan militer dengan cara apa pun yang dianggapnya pantas atau perlu terhadap entitas, negara bagian, dan individu yang tidak diketahui.

Pemahaman yang berlaku mengenai konsep entitas tak dikenal dan aktor menimbulkan kekhawatiran akan adanya penargetan terhadap umat Islam, baik di AS maupun secara internasional, dan seiring dengan meningkatnya eskalasi kekerasan terhadap masyarakat.

Secara politis, ini memicu perdebatan mengenai dampak regulasi ini terhadap kebebasan sipil dan hak-hak individu, khususnya yang berkaitan dengan Muslim Amerika dan komunitas mereka. Undang-undang Kebebasan Beragama Internasional yang disahkan AS tidak mampu membendung kekerasan yang dialami Muslim.

Banyak tempat keagamaan Muslim di Amerika telah mengalami aksi kekerasan dan serangan, termasuk pembakaran Alquran, dalam serangkaian insiden yang berulang, terutama setelah serangan bersenjata yang dipimpin oleh ekstremis yang mengaku beragama Islam.

Laporan Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) 2015 mencatat tingkat serangan terhadap masjid tertinggi sejak organisasi tersebut mulai mendokumentasikan insiden itu pada 2009. Amnesty International prihatin atas meningkatnya data yang menunjukkan adanya kejahatan terhadap umat Islam atau meningkatnya sentimen anti-Muslim di Amerika Serikat.

 

Menurut laporan dewan itu juga, pada 2023 terjadi peningkatan perasaan kebencian terhadap umat Islam, setelah mengalami penurunan pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2022. Dewan menjelaskan bahwa meningkatnya kekerasan di Israel dan Palestina pada Oktober 2023 adalah faktor utama di balik meningkatnya gelombang Islamofobia.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

  • Sangat tertarik
  • Cukup tertarik
  • Kurang tertarik
  • Tidak tertarik
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement