Selasa 03 Sep 2019 19:40 WIB

RKUHP: Presiden Harus Lapor Sendiri Bila Merasa Dihina

Nasdem menilai sebuah kritik mesti diatur agar penyampaiannya tak kebablasan.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Teguh Firmansyah
Politikus Nasdem sekaligus Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Politikus Nasdem sekaligus Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi menilai bahwa kebebasan berekspresi bukan menjadi ajang untuk menghina orang lain, khususnya Presiden. Menurutnya, sebuah kritik harus diatur agar penyampaiannya tidak 'kebablasan'.

"Kebebasan berekspresi sesuai konstitusi juga terbatas karena terkait kehormatan atau hak dan kepentingan orang lain, atau unsur-unsur keamanan negara," ujar Taufiqulhadi di Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (3/9).

Baca Juga

Ia menjelaskan, panitia kerja (Panja) Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) DPR RI telah merevisi pasal-pasal yang dinilai kontroversial. Salah satunya adalah pasal penghinaan presiden.

Panja telah mengambil jalan tengah terkait pasal tersebut, dengan melihat pro dan kontra dari pasal itu. Hal itu dilakukan agar pasal tetap merujuk keputusan Mahkamah Konstitusi, yang pernah membatalkan aturan serupa pada 2006.

"Jalan tengah dari itu adalah dengan menjadikan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden sebagai delik aduan absolut," ujar Taufiqulhadi.

Artinya, Presiden atau Wakil harus melaporkan sendiri bila merasa dihina atau diganggu kehormatannya. Pelaporan itu pun tidak bisa diwakilkan oleh aparatur negara lainnya.

Di sisi lain, Panja juga akan memperjelas pasal-pasal lain yang dianggap banyak pihak multitafsir. Salah satunya pasal 281 yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers, karena menimbulkan interpretasi.

"Kalau memang pasal ini dianggap multi tafsir, maka kita sepakat harus diperjelas lagi, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir,” jelasnya.

Ia pun menegaskan, RKHUP dibentuk berdasarkan nilai-nilai yang berkembang di Indonesia, seperti filsafat Pancasila, Ketuhan Yang Maha Esa, dan pluralisme. Serta, faktor eksternal terkait hak-hak asasi manusia (HAM) secara universal.

"Hanya saja tidak sebebas-bebasnya HAM dan demokrasi di Barat. Sebab, demokrasi itu justru tak akan berjalan tanpa adanya ketertiban masyarakat. Bahwa setiap UU itu harus menciptakan ketertiban, kalau tidak berarti gagal," ujar politikus Nasdem itu.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement