Rabu 21 Feb 2018 18:52 WIB

Jangkar Solidaritas Siapkan Uji Materi UU MD3

Pasal 122 huruf k dapat membuat rakyat takut untuk mengkritik DPR.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (kedua kiri) bersama anggota Majelis Hakim MK Anwar Usman (kiri), Aswanto (kedua kanan) dan Suhartoyo (kanan) memimpin sidang putusan lima perkara PUU di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (21/2).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (kedua kiri) bersama anggota Majelis Hakim MK Anwar Usman (kiri), Aswanto (kedua kanan) dan Suhartoyo (kanan) memimpin sidang putusan lima perkara PUU di Ruang Sidang MK, Jakarta, Rabu (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Partai Solidaritas Indonesia (PSI) melalui Jaringan Advokasi Rakyat Solidaritas (Jangkar Solidaritas) akan mengajukan uji materi (judicial review) revisi UU MPR, DPR, DPD & DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat (23/2).

 

Ketua Umum PSI, Grace Natalie, menyatakan revisi UU MD3 itu mencederai demokrasi. “Revisi UU MD3 itu mencederai demokrasi. Para anggota DPR itu memperlihatkan watak mereka yang menutup diri terhadap suara kritis rakyat sebagai konstituen,” ujar Grace, dalam siaran persnya kepada Republika.co.id, Rabu (21/2).

Gugatan ini juga diajukan setelah mengetahui hasil polling di akun media sosial PSI yang menyatakan 91 persen responden mendukung pengajuan gugatan tersebut. Karena desakan publik yang tercermin dari hasil polling, PSI mewakili kepentingan anggota dan publik akan ke MK.

Bagi PSI, sejumlah pasal kontroversial dalam revisi UU MD3 yang disahkan DPR dan Pemerintah akan menjadikan DPR sebagai lembaga yang adikuasa, anti-kritik, dan kebal hukum.

Beberapa pasal kontroversial tersebut adalah Pasal 73, mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan dapat dengan penyanderaan, setiap orang yang menolak memenuhi panggilan para anggota dewan, serta Polri wajib memenuhi permintaan tersebut. Pasal 122 huruf k, mengenai wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum kepada siapapun yang merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya.

Selanjutnya, Pasal 245 yang menyatakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan MKD.

Sementara itu, Kamaruddin dari Jangkar Solidaritas menyoroti bahwa pasal 122 huruf k dapat membuat rakyat takut untuk mengkritik DPR di tengah kinerja di tengah mereka  yang terpuruk. “Bahwa pada prinsipnya kami sepakat semua kehormatan dan nama baik seseorang manusia harus kita hormati. Semua kehormatan dan nama baik seluruh rakyat kita jaga, apalagi kehormatan dan nama baik DPR. Tetapi jangan sampai anggota DPR seluruh Indonesia memakai Lembaga Kehormatan perwakilan rakyat Indonesia untuk mengkriminalkan rakyatnya sendiri,” kata Kamaruddin.

Lebih lanjut, Kamaruddin mengatakan, “Kita berharap alat kelengkapan DPR tidak melakukan upaya-upaya secara sistematis dan terstruktur dengan memakai institusi negara untuk melakukan kriminalisasi terhadap suarat-suara rakyat yang kritis.”

Lebih lanjut, PSI juga melihat pasal 73 Revisi UU MD3 berpeluang menyeret kepolisian ke ranah politik sekaligus merendahkan fungsi kepolisian dalam melakukan penegakan hukum menjadi sekadar alat untuk menjalankan keputusan politik. 

“Bila pemanggilan paksa oleh DPR terjadi, masyarakat atau pemohon akan tidak berani mengontrol perilaku DPR yang telah dipilih rakyat itu sendiri. Pemanggilan ini adalah bentuk pembungkaman suara kritis rakyat terhadap DPR atas kinerja mereka yang buruk. Pasal ini berpotensi digunakan untuk mempidanakan suara-suara rakyat yang sedang memperjuangkan hak mereka,” kata Kamaruddin.

Bagi PSI, seharusnya DPR sebagai lembaga publik perlu membangun sistem yang membuka akses seluas-luasnya bagi publik untuk mengetahui, memberi masukan, aspirasi dan kritik terhadap kinerja anggota dan lembaga DPR. Selain itu, langkah DPR dalam revisi UU MD3 ini merupakan sebuah langkah mundur bagi demokrasi, yang semakin membuat lembaga tersebut makin tidak dipercaya masyarakat.

Menyangkut Pasal 245 ayat (1) yang mengatur tentang hak imunitas anggota DPR, ini juga melawan konstitusi. Sebab, hak imunitas anggota DPR di sana berlaku untuk semua tindakan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota DPR.

“Padahal hak imunitas diberikan oleh Konstitusi kepada anggota DPR hanya terkait dengan tugas anggota DPR,” ujar Kamaruddin.

Untuk pengajuan gugatan materi ini, PSI mengundang  122 pengacara bergabung – angka 122 diambil dari Pasal 122 yang dianggap mewakili kekeliruan Revisi UU MD3.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement