REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian dari Institut for Security an Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto menanggapi Surat Telegram Kapolri bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 terkait mengantisipasi aksi unjuk rasa dan mogok kerja oleh buruh karena menolak pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Menurutnya, surat telegram itu justru memicu kehebohan tersendiri.
"Kapolri lupa bahwa aturan hukum tertinggi di negara itu UUD 1945. Dimana di dalamnya ada Pasal 28 UUD 1945, yang menyatakan hak untuk berserikat dan berkumpul juga telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU HAM," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/10).
Kemudian, ia menjelaskan pasal 28E ayat (3) UUD 1945 berbunyi setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Lalu, pasal 24 ayat (1) UU HAM berbunyi setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat dan berserikat untuk maksud-maksud damai. "Surat Telegram tersebut justru akan memicu kehebohan tersendiri. Harusnya yang di kedepankan dari larangan tersebut terkait dengan protokol kesehatan bukan soal penolakan UU Cipta Lapangan Kerja," katanya.
Bambang melanjutkan, dalam UU Cipta Lapangan Kerja ini ada nasib masa depan buruh yang dirasa masih perlu diperdebatkan. Jadi, unjuk rasa tersebut wajar saja dilakukan karena menyangkut nasib mereka.
Ia menambahkan Polri itu alat negara bukan alat pemerintah. Tugas pokok Polri adalah menjaga ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Dalam konteks aksi penyampaian pendapat masyarakat posisi polri adalah netral yaitu melakukan tugas polisi.
"Polisi harus menjaga masyarakat agar aman dan tertib bukan menempatkan diri sebagai alat pukul pemerintah yang berhadap-hadapan dengan masyarakat," katanya.
Sebelumnya diketahui, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri berisi arahan kepada jajaran untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa dan mogok kerja oleh buruh pada 6-8 Oktober 2020 terkait penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Telegram bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 per tanggal 2 Oktober 2020 itu dibenarkan oleh Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono.
"Ya benar telegram itu," ujar Argo dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (5/10).
Argo mengatakan, dikeluarkannya surat telegram tersebut demi menjaga kondusivitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Ia menegaskan, dalam kondisi seperti sekarang, keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto.
Argo menambahkan, dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, penyampaian aspirasi atau demonstrasi tidak dilarang. Namun, kata dia, di tengah situasi pandemi seperti ini, kegiatan yang menimbulkan keramaian massa sangat berpotensi menimbulkan klaster baru penyebaran Covid-19.
"Sehingga, Polri tidak memberikan izin aksi demonstrasi atau kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang dengan tujuan mencegah penyebaran Covid-19. Ini juga sejalan dengan Maklumat Kapolri. Kami minta masyarakat untuk mematuhinya," ujar Argo.