Senin 19 Oct 2020 07:56 WIB

UU Cipta Kerja Berpotensi Lemahkan Perlindungan Lingkungan

Pegiat menilai UU Cipta Kerja tidak menjawab permasalahan perlindungan lingkungan.

Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Kawasan Industri Rancaekek, Jalan Raya Rancaekek, Kabupaten Bandung.  Pegiat lingkungan menilai undang-undang yang telah diserahkan kepada Presiden Jokowi ini memiliki banyak masalah dan berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan hidup.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Sejumlah buruh berunjuk rasa di depan Kawasan Industri Rancaekek, Jalan Raya Rancaekek, Kabupaten Bandung. Pegiat lingkungan menilai undang-undang yang telah diserahkan kepada Presiden Jokowi ini memiliki banyak masalah dan berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan hidup.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober lalu terus mendapat penolakan dari berbagai kalangan termasuk pegiat lingkungan. Pegiat lingkungan menilai undang-undang yang telah diserahkan kepada Presiden Jokowi ini memiliki banyak masalah dan berpotensi melemahkan perlindungan lingkungan hidup.

Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring mengatakan Undang-Undang Cipta Kerja tidak menjawab permasalahan yang ada saat ini, khususnya terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

“Perlindungan lingkungan akan baik jika akses partisipasi lingkungan layak diberikan, ada akses menggugat ke ranah hukum. Masyarakat dalam AMDAL, ada esensi partisipasi masyarakat yang berkurang sangat signifikan,” kata Raynaldo pada temu editor secara virtual yang diselenggarakan The Society of Environmental Journalists (SIEJ) pada Sabtu (17/10).

Lebih lanjut Raynaldo mengatakan bahwa UU Cipta Kerja melemahkan akses informasi dan akses partisipasi. UU tersebut menghapus Komisi Penilai Amdal (KPA) dan menggantinya dengan Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat. Lingkup masyarakat dalam penyusunan AMDAL terbatas serta akses informasi hanya melalui media elektronik.