REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melihat vonis hukuman mati terhadap pelaku rudapaksa 12 santriwati, Herry Wirawan, sebagai tonggak sejarah penting untuk Indonesia. Putusan itu diharapkan bisa menjadi yurisprudensi hukum para korban untuk kasus yang sama.
"Putusan ini tentunya menjadi tonggak sejarah penting untuk Indonesia, dalam memberikan efek jera hukuman maksimal, sekaligus edukasi di masyarakat," ujar Kadivwasmonev KPAI, Jasra Putra, kepada Republika, Senin (4/4/2022).
Jasra berpendapat para korban dan keluarganya akan sangat mengapresiasi kinerja majelis hakim yang mengeluarkan putusan tersebut. Hak itu dilakukan sembari berharap putusan tersebut juga bisa menjadi yurisprudensi hukum para korban untuk kasus yang sama.
Menurut Jasra, putusan tersebut juga memperbaiki putusan sebelumnya, yang awalnya restitusi dibebankan ke negara, kini di bebankan kepada pelaku dengan merampas segala asset yang dimiliki. Dia melihat keberpihakan yang tinggi dari majelis hakim untuk ke-23 koeban perlu diapresiasi.
"Sangat perlu di apresiasi. Karena umumnya korban kejahatan seksual akan dihantui trauma dan penderitaan sepanjang hidupnya, yang sangat perlu diantisipasi negara," kata dia.
"Hukuman mati dalam kekerasan seksual memang telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2016, khususnya pada Pasal 81 Ayat 5," sambung Jasra.
Di mana, kata dia, di sana ditegaskan bila anak korban kejahatan seksual lebih dari satu orang, yang mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.
Jasra juga menyampaikan, meski terdapat perbedaan cara pandang di masyarakat tentang pemberlakukan hukuman mati dan hukuman maksimal, namun keduanya memberi perhatian pada efek jera dan pemaksimalan hukuman, serta edukasi di masyarakat.
"Bahwa tidak ada ruang sedikitpun untuk pelaku kejahatan seksual di negara ini," jelas dia.
Dia kemudian menuturkan, putusan itu memperlihatkan kepada para pelaku dan yang berniat menjadi pelaku kejahatan seksual anak, bahwa UU pemberatan hukuman maksimal berada di ruang yang hidup. Bahwa secara dinamis kondisi para korban menjadi perhatian majelis hakim, meski sudah ada putusan sebelumnya.
"Bahwa perkembangan korban sebagaimana bunyi aturan tersebut, dapat mengubah putusan di tingkat pengadilan yang lebih tinggi," terang dia.