Jumat 02 Jun 2023 23:25 WIB

Soal PP 26/2023, KIARA: Bukti Gagalnya Poros Maritim! 

KIARA sebut PP Nomor 26/2023 menjadi bukti gagalnya poros maritim.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Greenpeace Indonesia sebut ekspor pasir berpotensi menimbulkan banyak masalah. KIARA sebut PP Nomor 26/2023 menjadi bukti gagalnya poros maritim.
Foto: Dok. Diskominfo Kabupaten Garut
Greenpeace Indonesia sebut ekspor pasir berpotensi menimbulkan banyak masalah. KIARA sebut PP Nomor 26/2023 menjadi bukti gagalnya poros maritim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memprotes Presiden Joko Widodo yang kembali mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. KIARA menilai aturan itu menunjukkan watak asli pemerintah dalam mengeksploitasi dengan dalih melestarikan lingkungan laut. 

Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menyatakan PP ini adalah wujud gagalnya konsep poros maritim yang digencarkan oleh Presiden Jokowi. "Inilah bukti kepalsuan dari poros maritim, karena PP ini hanya akan merampok sumber daya laut," kata Susan, Jumat (2/6/2023). 

Baca Juga

Susan menegaskan beban kerusakan lingkungan akan dialami oleh nelayan dan masyarakat pesisir yang selama ini bergantung dengan sumber daya kelautan dan perikanan. Susan menyayangkan Pemerintah hanya berorientasi untuk penambahan pemasukan negara. 

"Tapi di sisi lain tidak menghitung secara mendalam akan terjadi kerusakan sumber daya kelautan yang akan terjadi jika PP ini dijalankan," ujar Susan.

KIARA menemukan terdapat berbagai problematika mendasar dalam materiel PP Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Pertama, lahirnya PP No. 26 Tahun 2023 mencabut Keputusan Presiden No. 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.

Jika dilihat dari terminologinya, Pemerintah Pusat menganggap pasir laut yang berada di wilayah pesisir merupakan hasil sedimentasi sehingga harus ada pengendalian untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut. 

"Telah jelas disebutkan dalam Pasal 1 bahwa PP ini hanya akan melegalkan penambangan pasir di laut dengan dalih pengendalian untuk mengurangi sedimentasi di laut," ujar Susan.

Kedua, PP ini dinilai KIARA bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu Undang-Undang (UU) No. 27 Tahun 2007 yang diubah menjadi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 sudah jelas melarang praktik-praktik pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 

"Bahkan terdapat Putusan MA No. 57 P/HUM/2022 terkait dengan RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan yang juga dalam pertimbangannya melarang adanya pertambangan di pulau kecil," ucap Susan. 

Ketiga, Pemerintah memandang pasir laut sebagai komoditas yang dapat dioptimalkan untuk kepentingan pembangunan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 dan Pasal 9.

Implementasi dari pengelolaan hasil sedimentasi di laut disebut KIARA akan digunakan sebagai materi utama berbagai proyek reklamasi yang telah dilegalisasi melalui Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah disahkan di 28 provinsi. 

"Jika dibedah secara merinci, 28 Perda RZWP-3-K akan memberikan ruang terhadap berbagai proyek reklamasi dengan total luasan 3.506.653,07 hektar area," ucap Susan.

Keempat, KIARA menilai pemanfaatan eksploitasi pasir laut akan diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk ekspor. Padahal ekspor pasir laut telah dilarang sejak tahun 2007 agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

"Karena eksploitasi pasir laut yang dilakukan semakin tidak terkendali dan lebih menguntungkan aktor-aktor tertentu," ucap Susan.

Kelima, KIARA menyoroti mekanisme sanksi dalam PP No. 26 Tahun 2023 dilakukan dengan pendekatan sanksi administrasi. KIARA menilai sanksi adminitrasi tidak akan membuat efek jera, melainkan akan memberikan waktu dan ruang bagi investor untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.

"Contohnya terjadi di Pantai Minanga yang telah direklamasi dan pelaku usaha diberikan sanksi administrasi tetapi mereka tetap beroperasi hingga saat ini," ujar Susan.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan membolehkan ekspor pasir laut. Dalam Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023, ayat (1) berbunyi, "Hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa, pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur".

Adapun ayat (2) berisi tentang pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk: reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha dan/atau, ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam beleid yang diteken Jokowi di Jakarta pada 15 Mei 2023, pelaku usaha yang ingin melakukan ekspor harus mempunyai izin pemanfaatan pasir laut. Sehingga, penjualan pasir laut baru bisa dilakukan setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan dari menteri yang menerbitkan urusan bidang mineral dan batu bara.

Padahal pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pasir laut dilarang diekspor. Ekspor pasir laut dihentikan demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil. Penghentian ekspor itu akan ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau kecil.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement