Jumat 24 Nov 2023 21:33 WIB

Pejabat yang Menolak Ijazah Pesantren Bisa Berhadapan dengan Hukum

Ijazah pesantren setara dengan satuan pendidikan yang ada dalam sisdiknas.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Erdy Nasrul
Santri mengikuti kegiatan kajian Kitab Kuning.
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Santri mengikuti kegiatan kajian Kitab Kuning.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan pesantren kini telah mengantongi pengakuan negara, setelah diundangkannya Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Dengan pengakuan ini, pihak yang tidak mengakui legalitas ijazah pesantren akan berhadapan dengan hukum. 

Anggota Majelis Masyayikh, KH Abdul Ghofur Maimoen mengatakan, setelah negara memberikan pengakuan penuh, maka kini pesantren tidak lagi menghadapi isu rekognisi negara, akan tetapi kualitas lulusannya. Kiai Ghofur meminta semua pihak memahami substansi UU Nomor 18 tentang Pesantren, yang memberikan derajat setara antara pendidikan formal dan non formal. 

Baca Juga

"Secara umum alumni pesantren dan sekolah umum derajatnya sama, hanya dibedakan pada pilihan spesialisasi atau kompetensi bidang," kata Kiai Ghofur pada acara Sosialisasi UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren di Pondok Pesantren Roudlotul Ulum, Cidahu, Banten, Senin (20/11/23) 

Majelis Masyayikh menyampaikan, peristiwa penolakan ijazah pesantren sempat terjadi di Kabupaten Blora, Jawa Tengah pada tahun 202. Pada waktu itu, seorang perangkat desa bernama Akhmad Agus Imam Sobirin (41 tahun) yang telah lulus serangkaian ujian tidak dapat dilantik sebagai Sekretaris Desa. Pemkab Blora menganulir kelulusan Agus Imam Sobirin sebagai perangkat desa Turirejo, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora karena hanya lulusan pesantren, tanpa memiliki ijazah formal. 

Padahal mantan santri Mbah Maimoen di pesantren Al-Anwar, Sarang, Kabupaten Rembang ini telah lolos tes komputer dengan nilai 80 atau paling tinggi di antara 26 peserta lainnya. Sobirin juga tidak mengalami masalah saat pendaftaran, seleksi administratif, hingga serangkaian tes.

Ternyata ijazah pesantren tidak diakui dalam Peraturan Bupati Blora Nomor 36 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Blora Nomor 37 Tahun 2017 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Blora Nomor 6 Tahun 2016 tentang Perangkat Desa. Di situ disebutkan perangkat desa harus memiliki ijazah formal. Penolakan ini menimbulkan polemik hingga bergulir ke PTUN.

Kiai Ghofur berharap saat ini semua pihak lebih mengerti tentang rekognisi pemerintah terhadap pesantren. Sehingga alumni pesantren dapat melanjutkan ke manapun atau melamar ke instansi manapun baik negeri maupun swasta, tanpa harus mengikuti ujian persamaan Kemendikbud atau Kemenag. 

"Sebagai langkah lanjutannya, kalangan pesantren kini tengah berproses menuju standarisasi mutu agar tetap diakui masyarakat sebagai lembaga pendidikan unggul," ujar Kiai Ghofur.

Majelis Masyayikh telah meluncurkan Dokumen Penjaminan Mutu Pesantren yang akan menjadi acuan induk penjaminan mutu bagi pondok pesantren di Indonesia. Dokumen yang disingkat SPM Pesantren ini akan memberi perubahan signifikan kepada pesantren di seluruh Indonesia, di mana untuk pertama kalinya mereka harus menetapkan baku mutu kualitatif. Dokumen ini menjadi referensi operasional yang menerjemahkan UU Pesantren dalam bentuk standar yang jelas. 

"Standar mutu ini akan mengarahkan pesantren kepada pendidikan yang mengacu pada dokumen profil santri Indonesia," ujar Kiai Ghofur.

Pengasuh pesantren Miftahul Huda, Kalimanggis, Manonjaya, Tasikmalaya, KH Abdul Aziz Affandy menambahkan, dewasa ini banyak kasus terjadi di lingkungan pesantren, termasuk menyebarkan kebencian, disintegrasi, bahkan kasus kekerasan dan pelecehan seksual. 

"Pengakuan pemerintah tidak boleh dibalas pengkhianatan, tetapi pesantren harus mempersembahkan mutu," kata Kiai Affandy yang juga anggota Majelis Masyayikh ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement