REPUBLIKA.CO.ID, Selama ini kita hanya mengenal dua gender atau jenis kelamin, yakni pria dan wanita. Tetapi suku Bugis di Sulawesi Selatan mengakui ada lima gender, dan tidak terbatas pada jenis kelamin saja.
Inilah yang menjadi tema utama dalam film Calalai - In Betweens, yang disutradarai oleh Kiki Febriyanti dengan produser Ursula Tumiwa dan RR Agustine. Film dokumenter berdurasi kurang dari satu jam ini menceritakan kisah para bissu, tokoh spiritual yang kerap memimpin upacara dan ritual adat dalam masyarakat Bugis.
Bissu adalah satu dari lima gender yang diakui oleh masyarakat Bugis. Selain itu ada Calabai atau laki-laki yang memiliki peran dan penampilan seperti perempuan. Ada Calalai, yang lahir perempuan tetapi mengambil peran dan fungsi sebagai laki-laki.
Film ini diputar di Kantor Konsulat Jenderal RI di Melbourne, hari Senin malam (11/09/2017) dengan menghadirkan Ursula selaku produser.
"Kami mau menyampaikan jika gender itu bersifat fluid. Kadang kita berperan sebagai pria, kadang perempuan, sehingga tidak ekslusif hanya memainkan satu peran gender saja, tetapi bisa jadi gabungan keduanya," ujar Ursula kepada Erwin Renaldi dari ABC Melbourne.
Menurut Ursula, selama ini masyarakat modern mengkotak-kotakan pria dan wanita, sehingga peranannya pun menjadi seolah terbatas. "Pria misalnya yang dianggap hanya berperan mencari uang, sementara perempuan memasak, mencuci, dan mengerjakan tugas domestik."
"Padahal ada juga perempuan yang bersifat maskulin dan mengambil keputusan layaknya pria, dan sebaliknya."
Pemutaran dan pembahasan film ini dianggap relevan dengan situasi di Australia, yang seperti kebanyakan kehidupan bermasyarakat modern yang masih melihat pembagian gender hanya kepada dua kelamin saja.
Benjamin Hegarty, yang akrab dipanggil Ben adalah dosen Gender Studies di University of Melbourne dan Australian National University (ANU). Kini ia pun sedang menyelesaikan program doktoralnya yang meneliti pembahasan transgender di Indonesia.
"Film ini mengingatkan saya soal nilai-nilai dalam menjelaskan gender dalam pandangan budaya lain," ujar Benjamin yang juga diundang menjadi pembicara dalam pemutaran film.
Menurutnya, film ini menjadi penting diputar di Australia karena warga bisa memahami peranan gender dan bagaimana peranan tersebut dapat berubah. "Ini adalah soal pengertian gender dalam prakltiknya, yang tentu berbeda dengan apa yang sudah kita ketahui."
"Lewat film ini, kita bisa tahu siapa pria dan siapa perempuan yang berbeda dalam konteks budaya."
Karenanya, menurut Ben, penting bagi masyarakat untuk memakai istilah gender yang digunakan dan lebih baik mengaitkannya dalam arti praktiknya.
Sementara itu, pembicara lainnya adalah Syahrir Wahab, keturunan Bugis yang mengaku pernah memiliki beberapa teman yang akhirnya menjadi Calalai atau Calabai.
"Masyarakat saat itu bisa menerima para Calalai, Calabai, dan Bissu. Saya rasa perdebatan itu baru terasa di jaman sekarang, mereka juga minta untuk dihargai, diapresiasi, karena masyarakat dulu lebih menerima," ujar Syahrir, yang juga suami dari Dewi Wahab, Konjen RI di Melbourne.
Ia menjelaskan jika para Bissu kini semakin sedikit jumlahnya, dan hanya melakukan ritual atau upacara adat tertentu.
Acara pemutaran dan pembahasan film Calalai - In Betweens ini digelar oleh Forum Masyrakat Indonesia di Australia (FMIA).