Rabu 14 Oct 2020 00:06 WIB

MK: Tanpa Pasal 59 Ayat (2) Putusan Tetap Final dan Mengikat

MK menegaskan putusan pengujian undang-undang bersifat final dan mengikat.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersiap memimpin sidang uji materiil sebuah undang-undang di Gedung MK, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman bersiap memimpin sidang uji materiil sebuah undang-undang di Gedung MK, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan putusan pengujian undang-undang bersifat final dan mengikat sejak diucapkan sehingga harus dilaksanakan. Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono, mengatakan tanpa norma dalam Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah dihapus, sifat putusan MK tidak berubah.

"Walaupun tidak ada norma itu, atau norma itu dihapus, UUD 1945 tegas menyatakan MK itu peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat mengikat. Harus ditaati, dihormati, dan dilaksanakan," tutur Fajar Laksono.

Baca Juga

Pasal yang dihilangkan dalam revisi UU MK terakhir itu berbunyi "Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan".

Fajar menuturkan, dihapusnya norma itu dari UU MK yang baru merupakan bagian dari isi putusan MK Nomor 49/2011 tentang pengujian UU MK. Melalui putusan itu, norma dalam pasal itu dinyatakan inkonstitusional oleh MK sehingga oleh pembentuk undang-undang sekalian dihapus.

Selain itu, norma yang dihapus tersebut sebelumnya mungkin dimaknai putusan MK ditindaklanjuti hanya "jika diperlukan" sehingga akan memunculkan putusan yang perlu dan tidak perlu.

"Norma ini mengandung ketidakpastian, kekeliruan, dan mereduksi sifat final dan mengikat putusan MK. Padahal, semua putusan MK, terutama yang memuat legal policy baru, wajib untuk ditindaklanjuti oleh adressat putusan, termasuk pembentuk undang-undang," ucap Fajar.

Sebelumnya, terdapat pendapat bahwa, pengujian Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ke MK merupakan hal yang percuma karena dengan dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU MK setelah direvisi, pemerintah dan DPR tidak harus menindaklanjuti putusan MK.

Padahal berbagai pihak menilai alih-alih melakukan unjuk rasa menolak pengesahan UU Cipta Kerja, mengajukan pengujian undang-undang itu ke Mahkamah Konstitusi justru langkah yang lebih baik, khususnya saat wabah Covid-19 di Indonesia yang masih sulit dikendalikan.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement