Senin 01 Nov 2021 21:21 WIB

Sinyal China Tinggalkan Junta Myanmar

ASEAN telah meminta kepada junta Myanmar agar menjalan komitmen rekonsiliasi.

Rep: Dwina Agustin/Fergi Nadira/ Red: Teguh Firmansyah
Ilustrasi: Tentara Myanmar.
Foto: Anadolu Agency
Ilustrasi: Tentara Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Posisi junta Myanmar kini semakin terjepit. Setelah disudutkan ASEAN karena dianggap tidak berkomitmen terhadap perjanjian, kini nasib Myanmar sangat bergantung dari China.

Apakah China masih tetap memberikan dukungan? Atau Beijing justru mengamini langkah ASEAN yang meminta agar junta Myanmar berdialog dengan berbagai elemen di dalam negeri, termasuk Aung San Suu Kyi.

Baca Juga

Menurut pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, China kini tidak lagi mendukung junta. Hal ini dibuktikan di sikap mereka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa bangsa (PBB).

"Mereka juga takut, karena perusahaan-perusahaan China di Myanmar dibakar rakyat. Belum lama, Utusan khusus China, Sun Guo Xiang melakukan kunjungan rahasia ke Myanmar, pada  Agustus 2021 lalu," ujarnya kepada Republika.co.id, Ahad (31/10/2021).

Menurut Selamat Ginting, utusan khusus pemerintah China bertemu pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing dan menteri-menteri junta. Di situ pesannya adalah meminta  junta agar melakukan pembicaraan dengan Aung San Suu Kyi, untuk tidak membubarkan NLD. "Jadi sikap China sudah berubah. Dari sebelumnya mendukung junta di DK PBB, kini mereka angkat tangan dan minta junta berdamai dengan Aung San Suu Kyi," ujarnya.

Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Suu Kyi bersama partainya Liga Nasional Demokrat (NLD) dinilai telah melakukan kecurangan dalam pemilu, meski pun hal itu sudah dibantah oleh komisi pemilihan.

Tak hanya menggulingkan, militer Myanmar juga menangkap Suu Kyi dan orang-orang terdekatnya, termasuk Presiden Win Myint. Suu Kyi dikenai beragam tudingan dari walki talkie ilegal hingga penghasutan. Dalam sidang pada 26 Oktober lalu Suu Kyi membantah tuduhan penghasutan tersebut.  "Aung San Suu Kyi mampu mempertahankan ketidakbersalahannya dengan sangat baik," ujar seorang anggota tim pembelanya yang berbicara dengan syarat anonim, dilansir Aljazirah, Rabu (27/10).

 

Sementara Win Myint dalam pengadilan bersaksi bahwa para jenderal mencoba memaksanya menyerahkan kekuasaan beberapa jam sebelum kudeta pada 1 Februari. Para jenderal militer tersebut mengancam Win Myint, jika dia menolak untuk menyerahkan kekuasaan.

Sejumlah negara Barat yang digawangi oleh AS telah menjatuhkan beragam sanksi ke Myanmar. Dari mulai sanksi individu hingga institusi atau perusahaan terkait dengan junta militer.  Namun junta Myanmar bergeming. Sementara China sepertinya lebih bermain aman dan mendorong pendekatan dialog daripada pendekatan sanksi.

Menurut Kavi Chongkittavaorn, salah satu jurnalis senior di kawasan dalam tulisan kolomnya di laman Irrawaddy, tiga pekan ke depan akan menentukan nasib Myanmar sebagai keluarga besar ASEAN yang selama ini menjadi partner dialog dengan China. Pertanyaannya apakah Jenderal Min Aung Hlaing akan diundang dalam pertemuan ASEAN-China Summit ke-30 yang dijadwalkan pada 22 November? "Bagaimanapun keputusan yang diambil oleh Beiing itu akan menandai babak baru dalam hubungan ASEAN-China dan masa depan Myanmar," tuturnya. 

ASEAN sebelumnya sepakat melarang jenderal Myanmar Min Aung Hlaing hadir karena kegagalannya menerapkan rencana rekonsiliasi yang disepakati pada pertemuan sebelumnya pada April. ASEAN hanya mengizinkan utusan non politik menghadiri KTT, namun Myanmar tidak mengirimkan perwakilannya.

Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah menekankan ketidakhadiran Myanmar di KTT ASEAN adalah pilihan Myanmar. Ia pun mendukung sikap ASEAN agar junta Myanmar komitmen dengan kesepakatan yang telah disepakati.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement