REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie menilai bahwa usulan revisi keempat terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK merupakan bentuk kemarahan dari eksekutif dan legislatif. Kedua institusi geram, setelah MK menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
"Ini semua orang marah, kalau dulu waktu kami (masih di MK) memutus terkait anggaran pendidikan itu yang marah itu hanya eksekutif. Yang kemarin itu (putusan MK terkait UU Cipta Kerja) legislatif, eksekutif marah semua," ujar Jimly dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR terkait revisi UU MK, dikutip Jumat (31/3).
Kemarahan tersebut juga berdampak kepada pemecatan Aswanto oleh DPR dari posisi hakim MK pada September 2022. Akhirnya, Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah yang semula menjabat sebagai Sekretaris Jenderal MK.
"Jadi saya berharap sebelum kita berbicara mengenai teknis pasal-pasal itu saya ingin sekali mendiskusikan dengan saudara-saudara mengenai keberadaan MK-nya, ini lembaga strategis," ujar Jimly.
Imbas dari kemarahan tersebut, Komisi III lewat fungsi legislasinya mengusulkan kembali revisi UU MK. Padahal, DPR baru melakukan revisi ketiganya dan disahkan menjadi undang-undang pada September 2020.
Terdapat dua poin penting revisi UU MK yang merupakan imbas putusan yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pertama adalah evaluasi terhadap hakim yang sudah diusulkan DPR.
Kedua adalah recalling atau hakim MK dapat ditarik kembali jika dalam hasil evaluasinya dianggap buruk oleh DPR.
Padahal, dua hal tersebut belum pernah ada aturannya di negara manapun. "Jadi bab mengenai evaluasi dan recalling itu tidak bener itu, jadi saran saya dicoret lah itu. Ini bukan salahnya saudara-saudara Panja, ini kan saya tahu drafnya dari Baleg, jadi lumayan juga dosanya di Baleg sana," ujar anggota DPD itu.
Sebelumnya anggota Komisi III DPR Arsul Sani menjelaskan, ada empat materi muatan yang akan diubah dalam revisi UU MK. Diketahui, undang-undang tersebut sudah direvisi sebanyak tiga kali dan terakhir disahkan pada September 2020.
Salah satu materi muatan yang akan diubah adalah tentang evaluasi hakim MK. Jelasnya, hakim MK dapat dievaluasi oleh lembaga yang mengusulkan atau memilihnya. "Itulah (evaluasi hakim oleh DPR) yang akan kita atur akan seperti apa. Karena prinsipnya, evaluasi itu juga tidak boleh mengganggu independensi," ujar Arsul di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/2).
Jelasnya, dalam konteks pengisian jabatan hakim konstitusi, DPR, presiden, dan Mahkamah Agung (MA) diberi amanat untuk mengisi jabatan hakim MK dengan cara memilih atau mengajukan masing-masing sebanyak tiga orang hakim konstitusi. Itu diatur dalam Pasal 18a UU MK saat ini.
Artinya, hakim MK yang dipilih oleh DPR juga nantinya akan dievaluasi oleh lembaga legislatif itu sendiri. Sedangkan, hakim MK yang dipilih atau diajukan oleh MA akan dievaluasi oleh lembaga yang juga merupakan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman itu.
Independensi hakim MK dalam proses evaluasi tersebut, nilai Arsul, akan menjadi tantangan tersendiri dalam revisi UU MK. Sebab, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
"Nanti kita ya harus dengarkan juga apa pendapat dari para ahli, apa masukan dari teman-teman masyarakat sipil. Hemat saya, ya ini juga jangan terburu-buru," ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.