Kamis 15 Aug 2024 14:48 WIB

Soal Larangan Jilbab Paskibraka, Sosiolog Agama: Kontraproduktif dengan Moderasi Beragama

BPIP melarang anggota Paskibraka berjilbab.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Tangkapan layar (screenshot) dokumen Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024. Aturan ini menyoroti antara lain busana Paskibraka perempuan.
Foto: dok ist
Tangkapan layar (screenshot) dokumen Surat Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024. Aturan ini menyoroti antara lain busana Paskibraka perempuan.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Asosiasi Sosialog Agama Indonesia, Sehat Ihsan Shadiqin menanggapi aturan larangan berjilbab bagi Paskibraka yang menjadi polemik. Menurut dia, aturan tersebut bertentangan dengan kebijakan moderasi beragama yang digaungkan pemerintab. 

Dia mengatakan, mengenakan atribut keagamaan adalah bagian dari ekspresi keagamaan seseorang yang harus dihormati, termasuk oleh negara. Meskipun bukan negara agama, kata dia, Indonesia dibangun dengan pluralitas agama dan pemahamannya. 

Baca Juga

Menurut dia, memaksakan atau melarang orang melaksanakan ajaran agamanya adalah sikap yang keliru dan tidak bijak. Apalagi, Indonesia sedang gencar-gencarnya mengkampanyekan moderasi beragama, sebuah prinsip moderat dalam mengespresikan keyakinan agama. 

"Oleh sebab itu, apa yang dilakukan negara dalam hal ini menjadi kontraproduktif dengan semangat moderasi beragama yang dikampanyekannya," ujar Sehat saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (15/8/2024). 

Alih-alih menunjukkan praktik moderat dan menjadi teladan dalam beragama kepada semua warga negara melalui Paskibraka, lanjut dia, kasus ini justru menunjukkan bagaimana negara memaksanakan kehendakknya tanpa penghormatan pada keberagaman.

Seharusnya, kata dia, hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi di Indonesia dan para petinggi negara justru menjadi contoh dalam mengkampanyekan moderasi. Apalagi kebebasan dalam mengekspresikan cara beragama dengan tegas dan implisit diatur dalam undang-undang.

"Saya khawatir sikap dan komentar yang menimbulkan polemik seperti ini justru menggiring kita untuk terjebak pada perdebatan panjang dan saling lomba komentar, terutama di media sosial, dan kemudian melupakan berbagai masalah lain yang terjadi di lingkungan kita," ucap dia. 

Lalu, apakah larangan muslimah memakai jilbab ini termasuk ekstremisme dan islamophobia?

Untuk menyebut ini sebagai ekstremisme atau islamphobia, menurut Sehat, masih perlu pendefinisian yang tepat.

"Sebab kata "ekstrimisme" dan "Islamphobia" itu sendiri memiliki makna yang luas dan multitafsir yang kalau digunakan dalam kasus ini malah menimbulkan perdebatan baru yang membuat orang lupa akar masalah sebenarnya," kata Sehat. 

"Hal yang perlu dilakukan adalah mendesak pelaku meminta maaf atas keteledorannya dan terus mengawal agar hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi di masa yang akan datang," jelas dia. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement