Kalaulah anak "nakal", misalnya, orang tua harus cepat koreksi diri, siapa tahu orang tua yang salah mendidik, juga harus selalu mendoakan anaknya agar kembali ke jalan yang benar. Jadi, tidak dibenarkan orang tua mengutuk atau mengecap anaknya sebagai anak durhaka, apalagi mendoakan keburukan atau kesengsaraan bagi anak.
Perhatikan betapa Nabi Nuh tetap santun dan perhatian pada anaknya (Qan'an) yang durhaka: "Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung, maka Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat jauh terpencil: Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang orang yang kafir" (Hûd: 42).
Dalam kaitan nikah dan waris, secara fikih formal, kedurhakaan anak kepada orang tua atau kutukan orang tua terhadap anaknya tidak berpengaruh apa-apa karena kedurhakaan atau kutukan itu tidak memutus hubungan nasab. Dengan demikian, antara anak dan orang tua tetap terdapat hak kewalian atau kewarisan.
Kecuali jika kedurhakaan itu berupa pembunuhan atau beda agama, maka putuslah hubungan kekerabatan dan hilanglah hak ke warisan. Hal ini didasarkan pada makna sabda Nabi SAW: "Tidak ada hak waris bagi pembunuh" (HR Malik, Ahmad, an-Nasa'i, Ibnu Majah dan al-Baihaqi), dan sabda Nabi SAW: "Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang Islam" (HR al-Bukhari dan Muslim).