REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Kelompok masyarakat sipil pengawas tahanan politik di Myanmar menyampaikan warga yang tewas dalam demonstrasi menentang kudeta militer sudah mencapai 581 orang sejak 1 Februari lalu.
Dalam laporannya Rabu dini hari (7/4), Asosiasi Pendamping untuk Tahanan Politik (AAPP) menyampaikan tambahan 11 orang tewas pada Selasa (6/4) menyusul kekerasan yang terjadi di Myanmar. AAPP juga melaporkan hingga 6 April, total 2.750 orang telah ditahan.
Dari jumlah itu, dari 38 dijatuhi hukuman dan 463 lainnya telah dikeluarkan surat perintah penangkapan. AAPP selanjutnya mempertanyakan sikap non intervensi ASEAN atas kekerasan yang terus berlanjut di Myanmar.
“Kebijakan non intervensi (ASEAN) tidak berarti mengizinkan junta untuk menyiksa orang-orang yang ditahan, atau memutilasi warga sipil dengan tato dari para pemimpin mereka yang terpilih secara demokratis,” kata AAPP.
AAPP melaporkan pasukan junta di kota Mandalay menindak para petugas kesehatan yang melakukan aksi mogok. Akibatnya satu orang terluka dan empat dokter ditangkap dengan kejam. Selain itu, sepeda motor dan telepon genggam juga disita.
Di Kotapraja Kyaukme, Negara Bagian Shan, lanjut AAPP, pasukan junta menyerang dengan lebih dari 20 granat asap ke kerumunan demonstran yang melakukan mogok kerja.
“Di Kotap Mogaung, Negara Bagian Kachin, pasukan junta menggunakan peluru tajam untuk melakukan protes,” lapor AAPP.
Junta militer, kata AAPP, juga menculik anggota keluarga sebagai sandera jika mereka tidak menemukan orang yang mereka inginkan. Myanmar diguncang kudeta militer pada 1 Februari dengan menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi. Militer berdalih pemilu yang mengantarkan Suu Kyi terpilih dengan suara terbanyak penuh kecurangan.
Menanggapi kudeta tersebut, kelompok sipil di seluruh negeri meluncurkan kampanye pembangkangan dengan demonstrasi massa dan aksi duduk di jalan.